Oleh : S.A. Ariesita
Masalah air dan pelestarian lingkungan yang kian rumit membelit, solusinya secara teknis banyak dipelajari. Berapa banyak saran pakar yang tertuang di aneka seminar, artikel, opini, dan pelbagai diskusi.
Penanganannya dalam regulasi pemerintah cukup mendukung, dalam bentuk peraturan-peraturan tertulis. Dalam dunia pendidikan formal, upaya melestarikan lingkungan dan habitat yang berkelanjutan hadir lewat mata pelajaran formal PLH di sekolah.
Kebanyakan dari kita umumnya tahu bahwa pemanasan global sebagai dampak kerusakan lingkungan telah menciptakan kekeringan yang sangat di musim kemarau. Sebaliknya di musim penghujan hadir dalam bentuk badai puting beliung dan hujan petir yang dahsyat.
Air dengan ganas meluncur deras bersama tanah dan lumpur serta kayu gelondongan dari dataran tinggi dan hulu sungai yang rusak .Bahkan air menjadi liar menerjang ke sana kemari menelan korban mahluk bernyawa, dan meluluh lantakkan pemukiman. Rumah-rumah di bantaran sungai hanyut tergerus dalam arus bandang.
Dalam perjalanan air bah pembawa reruntuhan bangunan itu menerjang manusia dan melukainya. Entah sudah berapa banyak nyawa melayang sia-sia, dan sudah berapa besar kerugian mendera.
Sejatinya, kita semua tahu garis besar langkah penanganannya agar air sang sumber utama kehidupan tetap menjadi sahabat bukan sebagai musuh. Bukan air yang selalu berkelit ‘lenyap’ saat kemarau dan kita amat membutuhkannya, dan bukan juga air yang datang bak angkara murka di musim penghujan. Namun pengetahuan itu hanya sebatas tahu belaka, kerap tidak disertai pengertian yang lebih dalam. Bagaimana detail bersahabat dengan alam. Parahnya banyak dari kita yang sudah tahu, mengerti, tapi tidak paham, sebab hati nurani kita terkunci.
Kebanyakan dari ego yang tinggi hanya memerhatikan kepentingan individu dan kelompoknya sendiri, dengan mengabaikan dampak buruk bagi lingkungan dan orang lain, bahkan membahayakan diri sendiri.
Contoh soal mereka yang membangun rumah ataupun dunia usaha di kawasan hulu dan bantaran sungai. Satu bangunan liar dibiarkan tumbuh, terjadi proses pembiaran, atau izin yang entah darimana dikeluarkan, maka akan diikuti oleh bangunan liar lainnya secara latah. Begitulah psikologi massal. Dimana orang jika sudah melanggar aturan beramai-ramai alias berjamaah, merasa berani dan hilang rasa bersalahnya. Otomatis kualitas bantaran sungai menjadi rusak. Sampah rumah tangga maupun limbah usaha di bantaran sungai umumnya dibuang begitu saja ke sungai karena dekat dengan tempat tinggal/usaha.
Bapak Sobirin, salah seorang anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPLKTS) dan Bandung Spirit dalam opininya di harian Pikiran Rakyat, 8 Januari 2008 berkomentar sebagai berikut,. “Permukiman di daerah sempadan sungai telah tumbuh sebagai fakta sejarah, merupakan manifestasi tuntutan kebutuhan ruang, yaitu ketika jumlah penduduk semakin banyak dan lahan sangat terbatas.
Lahan di pinggir sungai dianggap ”tidak bertuan”, kemudian diwujudkan dalam ekspansi ruang dengan membangun hunian tempat tinggal. Akhirnya hunian tersebut menjadi masalah ketika pemerintah terlambat menangani. Pemerintah tak mampu lagi mengendalikan pertumbuhan bangunan yang semakin memadati sempadan sungai dan bencana banjir datang secara rutin setiap tahun….
….Menurut perundang-undangan, membangun dan tinggal di daerah sempadan sungai adalah tidak benar. Berubahnya sempadan sungai yang seharusnya berfungsi sebagai kawasan lindung setempat menjadi kawasan hunian akan berdampak negatif terhadap kelestarian sumber daya air “
Adapun aturan sempadan sungai bukannya tak ada. Hanya saja selain terjadi pembiaran, aturan tak ditegakkan, semestinya pembangunan liar di bantaran sungai itu dicegah sejak dini. Jangan sampai nanti jika sudah tumbuh rumah-rumah permanen, barulah dilakukan penindakan. Tentunya akan menelan biaya dan enerji lebih besar. Serta akan merugikan mereka yang sudah kepalang mendirikan bangunan secara liar di bantaran sungai.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, diamanatkan bahwa sempadan sungai merupakan kawasan lindung.
Sesuai dengan Permen PU No. 63/PRT/1996 tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai, danBekas Sungai, menetapkan:
Pasal 6 ayat 1: Garis sempadan sungai bertanggul ditetapkan sebagaiberikut: Garis sempadan sungai bertanggul di dalam kawasan perkotaan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 meter di sebelah luar sepanjang kaki tanggul.
Pasal 8: Penetapan garis sempadan sungai tak bertanggul di dalam kawasan perkotaan didasarkan pada kriteria:
Sungai yang mempunyai kedalaman tidak lebih dari 3 meter, garis sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 10 meter dihitung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan.
Sungai yang mempunyai kedalaman tidak lebih dari 3 meter sampai dengan 20 meter, garis sempadan dan ditetapkan sekurang-kurangnya 15 meter dari tepi sungai pada waktu ditetapkan.
Sungai yang mempunyai kedalaman maksimum lebih dari 20 meter, garis sempadan sekurang-kurangnya 30 meter dihitung dari tepi sungai pada waktu yang ditetapkan.
Pasal 12: Pada daerah sempadan dilarang:Membuang sampah, limbah padat dan atau cair.Mendirikan bangunan permanen untuk hunian dan tempat usaha.
Berdasarkan Permen PU No. 63/PRT/1996, bangunan yang didirikan di pinggir sungai adalah terlarang, di mana akan membahayakan bagi penghuninya maupun lingkungan sekitarnya.
Kewenangan penertiban bangunan terlarang tersebut berada pada aparatur Daerah setempat berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Demikian peraturan yang penulis cuplik dari web site Ditjen Cipta Karya.
Masalah air sebagai sumber utama hayati , kini semakin darurat. Perhatikan sungai-sungai yang telah dicemari oleh sampah dan limbah insdudtri serta limbah rumah tangga.
Perhatikan mata air yang kering. Perhatikan pula hutan-hutan dan kawasan lindung yang berubah fungsi. Semua berjalan cepat sebanding dengan cepatnya pula hati nurani dilabrak.
Sejalan dengan derasnya pelanggaran atas regulasi yang dibuat. Juga pembiaran berdirinya aneka bangunan di atas kawasan konservasi , di dataran tinggi dan di sempadan sungai-sungai.
Dalam satu tulisan di harian KOMPAS Jawa Barat edisi 3 Agustus 2007, berjudul “SUNGAI DI BANDUNG MEMPRIHATINKAN “ diungkap oleh Bapak Sobirin tentang hilangnya mata air di kawasan Dago . Bapak Sobirin , yang juga anggota DPKLTS mengungkapkan, bahwa semua sungai di Kota Bandung dalam kondisi memrihatinkan. Perilaku masyarakat dan ketidaktegasan pemerintah dalam menegakkan aturan menjadi pemicu utama kerusakan lingkungan hidup, terutama sungai.
Dalam buku “Bandung Tempo Doeloe” karya Haryoto Kunto,terbitan Granesia Bandung, diceritakan Pancuran Tujuh, mata air di kawasan Ciumbuleuit kini sudah punah. Serta mirisnya riwayat selokan serta sungai yang dulu jernih, kini sudah menjadi aliran yang kotor dan bau.
Masalah peraturan dan himbauan, sebenarnya takkan pernah efektif tanpa dukungan sumber daya manusia yang tahu, mengerti, paham dan handal dalam menyikapi gaya hidup ramah lingkungan.
Apalah artinya semua ilmu pengetahuan, peraturan, rencana-rencana gemilang tanpa sosok pelaksana yang kredibel. Apalah artinya cetak biru dan perencanaan paripurna jika tidak ada yang merealisasikannya dengan cara cerdas, berwawasan, dengan ditenagai semangat dari hati nurani yang jernih.
Perhatikan saja (berita Harian Pikiran Rakyat 30 November 2011 halaman 3), bagaimana bangunan liar di jalan Tamansari Bandung bisa memiliki rekening PLN resmi. Saat dibongkar oleh satpol PP mereka tercatat sebagai pelanggan resmi, yang nota bene syarat pelanggan PLN itu harus memiliki IMB yang sah.
Simak pula betapa merdekanya bangunan-bangunan berdiri di daerah aliran sungai, pada sempadan yang berbahaya buat mereka sendiri, sekaligus membahayakan lingkungan. Bukan tak mungkin mereka merasa berani dan aman karena tak ada tindakan tegas dari yang berwenang sekaligus terjadi pembiaran, bahkan malah dilindungi dukungan dari para oknum.
Maka, masalah air dan pelestaran lingkungan secara terpadu tak cukup hanya mengedepankan aturan, rencana tata ruang, atau kepiawaian teknis dan sains belaka. Tapi juga harus memerhatikan masalah mentalitas dan moral. Dan justru masalah mentalitas dan moral sumber daya pelaksana inilah hambatan terbesarnya.
Adakah masyarakat kita dan kalangan legislatif, eksekutif dan yudikatif menjalankan fungsinya secara benar? Kebutuhan kita memahami daruratnya masalah air dan pengetahuan formil lingkungan hidup kini menjadi penting.
Materi Pendidikan Lingkungan Hidup di sekolah sudah berjalan. Namun ketika pendidikan formil menjadi mahal, dapatkah semua anak bangsa menyerapnya?
Ketika kaum papa dan miskin tengah sibuk dalam pergulatan ekonomi yang kian sulit, jurang kaya dan miskin semakin melebar, pendidikan tak lagi bersahabat dengan si miskin. Mungkinkah mereka masih memiliki optimisme, atau justru menjadi apatis oleh keletihan? Sebab hidup susah sudah sangat melelahkan, memikirkan nasi buat esoknya saja sudah kepayahan, kerap mereka tak bisa paham soal menjaga lingkungan? Sangat logis jika mereka frustrasi, menjadi pelaku vandalisme, buang hajat dimana saja, dan buang sampah dimana saja. Bagi mereka gaya hidup mapan itu tak lagi terpikirkan.
Lantas berapa banyak pendidikan agamis menekankan soal lingkungan hidup? Sudahkan para pemimpin religi kita menjelaskan makna dosa saat merusak lingkungan? Seberapa banyak Majelis Taklim kita memberikan pembelajaran bahayanya kerusakan lingkungan dan dosa besar merusak lingkungan, serta apa kriteria perbuatan yang merusak lingkungan?
Betapa ironisnya jika pengerukan sungai, penghijauan, menata dan membuat taman di sempadan sungai dan di bantaran sungai berlanjut dengan keterlantaran. Artinya tidak diimbangi dengan pemeliharaan yang disiplin dan konsisten. Mentalitas disiplin juga amat menentukan.
Sudahkan budaya disiplin dan jiwa pekerja keras kita hidup? Atau justru budaya lamban, ceroboh, santai dan malas yang berkembang?
Juga betapa ironisnya jika aturan dibuat, namun mereka yang berwenang seolah tak sanggup menegakkan aturan, apalagi menindak pelanggar aturan, atau justru ada yang mendukung pelanggar aturan.
Karenanya, masalah penanganan air secara terpadu, tak cukup hanya teori-teori teknis tentang melindungi kawasan resapan air. Tak cukup sekedar menghijaukan dataran tinggi. Bukan hanya menjaga DAS dan menghijaukan sempadan sungai. Juga bukan pula hanya membuat embung-embung, bendungan, waduk yang tidak berdampak sampingan. Melainkan perlu dukungan penting lainnya.
Penanganan air secara terpadu, dan melestarikan lingkungan, adalah juga diawali dengan menangani manusianya lebih dulu. Sumber daya manusianya harus dibangun. Lewat kesempatan pendidikan yang baik, ekonomi yang sejahtera dan menyehatkan kualitas pikiran dan jiwa, menerapkan pemahaman pentingnya pelestarian lingkungan lewat jalur religius dan agama.
Sosialisasi lebih merata ke masyarakat kecil juga dibutuhkan dengan cara yang bersahabat dan menyentuh kelas bawah. Termasuk dengan memasang papan-papan peringatan larangan merusak lingkungan dan mendirikan bangunan liar. Serta merangkul tokoh masyarakatnya.
Pendek kata membangun manusia lewat kecerdasan intelektual (ilmiah, pendidikan formil, sains, teknis) , kecerdasan emosional (menggunakan hati nurani) dan kecerdasan spiritual (pendekatan religius dan agamis).
Sumber daya manusia yang cerdas Intelejensia, Emosional, Spiritual, mampu membuat regulasi dan aturan yang tepat, bijak, dan bertanggung jawab. Dan yang lebih penting lagi, hanya sumber daya manusia berkualitaslah yang mampu merealisasikan secara benar dan baik aturan dan rencana-rencana gemilang dalam menanggulangi bahaya air, dan mengubahnya menjadi sahabat kita.
Sumber daya manusia berkualitas juga sangat dibutuhkan dalam menegakkan aturan. Permasalahan tercemarnya lingkungan cukup didominasi oleh dunia usaha. Banyak industri dan pelaku usaha sebagai pembuang limbah dan pencemar air. Bahkan pengusaha setingkat mobil jasa sedot tinjapun rajin membuang tinja sedotan septiktanknya ke sungai.
Akhirnya , hanya sumber daya berkualitas yang adil pulalah yang bakalan sanggup menegakkan aturan, menegaskan larangan, dan menindak tegas pelanggar aturan secara bijak dan adil.
Ketika hukum bisa dibeli, maka pelanggar aturan semakin leluasa. Kesimpulannya, supremasi hukum menjadi modal penting keberhasilan penanganan air terpadu dan pelestarian lingkungan. Masalah moral, mentalitas, hati nurani yang didukung juga oleh kesejahateraan yang baikhingga ke akar rumput, juga menjadi signifkan. (*)
Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/
Alamat ratron (surat elektronik): redaksi@kabarindonesia.com
Berita besar hari ini...!!! Kunjungi segera:
http://kabarindonesia.com/
Penanganannya dalam regulasi pemerintah cukup mendukung, dalam bentuk peraturan-peraturan tertulis. Dalam dunia pendidikan formal, upaya melestarikan lingkungan dan habitat yang berkelanjutan hadir lewat mata pelajaran formal PLH di sekolah.
Kebanyakan dari kita umumnya tahu bahwa pemanasan global sebagai dampak kerusakan lingkungan telah menciptakan kekeringan yang sangat di musim kemarau. Sebaliknya di musim penghujan hadir dalam bentuk badai puting beliung dan hujan petir yang dahsyat.
Air dengan ganas meluncur deras bersama tanah dan lumpur serta kayu gelondongan dari dataran tinggi dan hulu sungai yang rusak .Bahkan air menjadi liar menerjang ke sana kemari menelan korban mahluk bernyawa, dan meluluh lantakkan pemukiman. Rumah-rumah di bantaran sungai hanyut tergerus dalam arus bandang.
Dalam perjalanan air bah pembawa reruntuhan bangunan itu menerjang manusia dan melukainya. Entah sudah berapa banyak nyawa melayang sia-sia, dan sudah berapa besar kerugian mendera.
Sejatinya, kita semua tahu garis besar langkah penanganannya agar air sang sumber utama kehidupan tetap menjadi sahabat bukan sebagai musuh. Bukan air yang selalu berkelit ‘lenyap’ saat kemarau dan kita amat membutuhkannya, dan bukan juga air yang datang bak angkara murka di musim penghujan. Namun pengetahuan itu hanya sebatas tahu belaka, kerap tidak disertai pengertian yang lebih dalam. Bagaimana detail bersahabat dengan alam. Parahnya banyak dari kita yang sudah tahu, mengerti, tapi tidak paham, sebab hati nurani kita terkunci.
Kebanyakan dari ego yang tinggi hanya memerhatikan kepentingan individu dan kelompoknya sendiri, dengan mengabaikan dampak buruk bagi lingkungan dan orang lain, bahkan membahayakan diri sendiri.
Contoh soal mereka yang membangun rumah ataupun dunia usaha di kawasan hulu dan bantaran sungai. Satu bangunan liar dibiarkan tumbuh, terjadi proses pembiaran, atau izin yang entah darimana dikeluarkan, maka akan diikuti oleh bangunan liar lainnya secara latah. Begitulah psikologi massal. Dimana orang jika sudah melanggar aturan beramai-ramai alias berjamaah, merasa berani dan hilang rasa bersalahnya. Otomatis kualitas bantaran sungai menjadi rusak. Sampah rumah tangga maupun limbah usaha di bantaran sungai umumnya dibuang begitu saja ke sungai karena dekat dengan tempat tinggal/usaha.
Bapak Sobirin, salah seorang anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPLKTS) dan Bandung Spirit dalam opininya di harian Pikiran Rakyat, 8 Januari 2008 berkomentar sebagai berikut,. “Permukiman di daerah sempadan sungai telah tumbuh sebagai fakta sejarah, merupakan manifestasi tuntutan kebutuhan ruang, yaitu ketika jumlah penduduk semakin banyak dan lahan sangat terbatas.
Lahan di pinggir sungai dianggap ”tidak bertuan”, kemudian diwujudkan dalam ekspansi ruang dengan membangun hunian tempat tinggal. Akhirnya hunian tersebut menjadi masalah ketika pemerintah terlambat menangani. Pemerintah tak mampu lagi mengendalikan pertumbuhan bangunan yang semakin memadati sempadan sungai dan bencana banjir datang secara rutin setiap tahun….
….Menurut perundang-undangan, membangun dan tinggal di daerah sempadan sungai adalah tidak benar. Berubahnya sempadan sungai yang seharusnya berfungsi sebagai kawasan lindung setempat menjadi kawasan hunian akan berdampak negatif terhadap kelestarian sumber daya air “
Adapun aturan sempadan sungai bukannya tak ada. Hanya saja selain terjadi pembiaran, aturan tak ditegakkan, semestinya pembangunan liar di bantaran sungai itu dicegah sejak dini. Jangan sampai nanti jika sudah tumbuh rumah-rumah permanen, barulah dilakukan penindakan. Tentunya akan menelan biaya dan enerji lebih besar. Serta akan merugikan mereka yang sudah kepalang mendirikan bangunan secara liar di bantaran sungai.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, diamanatkan bahwa sempadan sungai merupakan kawasan lindung.
Sesuai dengan Permen PU No. 63/PRT/1996 tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai, danBekas Sungai, menetapkan:
Pasal 6 ayat 1: Garis sempadan sungai bertanggul ditetapkan sebagaiberikut: Garis sempadan sungai bertanggul di dalam kawasan perkotaan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 meter di sebelah luar sepanjang kaki tanggul.
Pasal 8: Penetapan garis sempadan sungai tak bertanggul di dalam kawasan perkotaan didasarkan pada kriteria:
Sungai yang mempunyai kedalaman tidak lebih dari 3 meter, garis sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 10 meter dihitung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan.
Sungai yang mempunyai kedalaman tidak lebih dari 3 meter sampai dengan 20 meter, garis sempadan dan ditetapkan sekurang-kurangnya 15 meter dari tepi sungai pada waktu ditetapkan.
Sungai yang mempunyai kedalaman maksimum lebih dari 20 meter, garis sempadan sekurang-kurangnya 30 meter dihitung dari tepi sungai pada waktu yang ditetapkan.
Pasal 12: Pada daerah sempadan dilarang:Membuang sampah, limbah padat dan atau cair.Mendirikan bangunan permanen untuk hunian dan tempat usaha.
Berdasarkan Permen PU No. 63/PRT/1996, bangunan yang didirikan di pinggir sungai adalah terlarang, di mana akan membahayakan bagi penghuninya maupun lingkungan sekitarnya.
Kewenangan penertiban bangunan terlarang tersebut berada pada aparatur Daerah setempat berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Demikian peraturan yang penulis cuplik dari web site Ditjen Cipta Karya.
Masalah air sebagai sumber utama hayati , kini semakin darurat. Perhatikan sungai-sungai yang telah dicemari oleh sampah dan limbah insdudtri serta limbah rumah tangga.
Perhatikan mata air yang kering. Perhatikan pula hutan-hutan dan kawasan lindung yang berubah fungsi. Semua berjalan cepat sebanding dengan cepatnya pula hati nurani dilabrak.
Sejalan dengan derasnya pelanggaran atas regulasi yang dibuat. Juga pembiaran berdirinya aneka bangunan di atas kawasan konservasi , di dataran tinggi dan di sempadan sungai-sungai.
Dalam satu tulisan di harian KOMPAS Jawa Barat edisi 3 Agustus 2007, berjudul “SUNGAI DI BANDUNG MEMPRIHATINKAN “ diungkap oleh Bapak Sobirin tentang hilangnya mata air di kawasan Dago . Bapak Sobirin , yang juga anggota DPKLTS mengungkapkan, bahwa semua sungai di Kota Bandung dalam kondisi memrihatinkan. Perilaku masyarakat dan ketidaktegasan pemerintah dalam menegakkan aturan menjadi pemicu utama kerusakan lingkungan hidup, terutama sungai.
Dalam buku “Bandung Tempo Doeloe” karya Haryoto Kunto,terbitan Granesia Bandung, diceritakan Pancuran Tujuh, mata air di kawasan Ciumbuleuit kini sudah punah. Serta mirisnya riwayat selokan serta sungai yang dulu jernih, kini sudah menjadi aliran yang kotor dan bau.
Masalah peraturan dan himbauan, sebenarnya takkan pernah efektif tanpa dukungan sumber daya manusia yang tahu, mengerti, paham dan handal dalam menyikapi gaya hidup ramah lingkungan.
Apalah artinya semua ilmu pengetahuan, peraturan, rencana-rencana gemilang tanpa sosok pelaksana yang kredibel. Apalah artinya cetak biru dan perencanaan paripurna jika tidak ada yang merealisasikannya dengan cara cerdas, berwawasan, dengan ditenagai semangat dari hati nurani yang jernih.
Perhatikan saja (berita Harian Pikiran Rakyat 30 November 2011 halaman 3), bagaimana bangunan liar di jalan Tamansari Bandung bisa memiliki rekening PLN resmi. Saat dibongkar oleh satpol PP mereka tercatat sebagai pelanggan resmi, yang nota bene syarat pelanggan PLN itu harus memiliki IMB yang sah.
Simak pula betapa merdekanya bangunan-bangunan berdiri di daerah aliran sungai, pada sempadan yang berbahaya buat mereka sendiri, sekaligus membahayakan lingkungan. Bukan tak mungkin mereka merasa berani dan aman karena tak ada tindakan tegas dari yang berwenang sekaligus terjadi pembiaran, bahkan malah dilindungi dukungan dari para oknum.
Maka, masalah air dan pelestaran lingkungan secara terpadu tak cukup hanya mengedepankan aturan, rencana tata ruang, atau kepiawaian teknis dan sains belaka. Tapi juga harus memerhatikan masalah mentalitas dan moral. Dan justru masalah mentalitas dan moral sumber daya pelaksana inilah hambatan terbesarnya.
Adakah masyarakat kita dan kalangan legislatif, eksekutif dan yudikatif menjalankan fungsinya secara benar? Kebutuhan kita memahami daruratnya masalah air dan pengetahuan formil lingkungan hidup kini menjadi penting.
Materi Pendidikan Lingkungan Hidup di sekolah sudah berjalan. Namun ketika pendidikan formil menjadi mahal, dapatkah semua anak bangsa menyerapnya?
Ketika kaum papa dan miskin tengah sibuk dalam pergulatan ekonomi yang kian sulit, jurang kaya dan miskin semakin melebar, pendidikan tak lagi bersahabat dengan si miskin. Mungkinkah mereka masih memiliki optimisme, atau justru menjadi apatis oleh keletihan? Sebab hidup susah sudah sangat melelahkan, memikirkan nasi buat esoknya saja sudah kepayahan, kerap mereka tak bisa paham soal menjaga lingkungan? Sangat logis jika mereka frustrasi, menjadi pelaku vandalisme, buang hajat dimana saja, dan buang sampah dimana saja. Bagi mereka gaya hidup mapan itu tak lagi terpikirkan.
Lantas berapa banyak pendidikan agamis menekankan soal lingkungan hidup? Sudahkan para pemimpin religi kita menjelaskan makna dosa saat merusak lingkungan? Seberapa banyak Majelis Taklim kita memberikan pembelajaran bahayanya kerusakan lingkungan dan dosa besar merusak lingkungan, serta apa kriteria perbuatan yang merusak lingkungan?
Betapa ironisnya jika pengerukan sungai, penghijauan, menata dan membuat taman di sempadan sungai dan di bantaran sungai berlanjut dengan keterlantaran. Artinya tidak diimbangi dengan pemeliharaan yang disiplin dan konsisten. Mentalitas disiplin juga amat menentukan.
Sudahkan budaya disiplin dan jiwa pekerja keras kita hidup? Atau justru budaya lamban, ceroboh, santai dan malas yang berkembang?
Juga betapa ironisnya jika aturan dibuat, namun mereka yang berwenang seolah tak sanggup menegakkan aturan, apalagi menindak pelanggar aturan, atau justru ada yang mendukung pelanggar aturan.
Karenanya, masalah penanganan air secara terpadu, tak cukup hanya teori-teori teknis tentang melindungi kawasan resapan air. Tak cukup sekedar menghijaukan dataran tinggi. Bukan hanya menjaga DAS dan menghijaukan sempadan sungai. Juga bukan pula hanya membuat embung-embung, bendungan, waduk yang tidak berdampak sampingan. Melainkan perlu dukungan penting lainnya.
Penanganan air secara terpadu, dan melestarikan lingkungan, adalah juga diawali dengan menangani manusianya lebih dulu. Sumber daya manusianya harus dibangun. Lewat kesempatan pendidikan yang baik, ekonomi yang sejahtera dan menyehatkan kualitas pikiran dan jiwa, menerapkan pemahaman pentingnya pelestarian lingkungan lewat jalur religius dan agama.
Sosialisasi lebih merata ke masyarakat kecil juga dibutuhkan dengan cara yang bersahabat dan menyentuh kelas bawah. Termasuk dengan memasang papan-papan peringatan larangan merusak lingkungan dan mendirikan bangunan liar. Serta merangkul tokoh masyarakatnya.
Pendek kata membangun manusia lewat kecerdasan intelektual (ilmiah, pendidikan formil, sains, teknis) , kecerdasan emosional (menggunakan hati nurani) dan kecerdasan spiritual (pendekatan religius dan agamis).
Sumber daya manusia yang cerdas Intelejensia, Emosional, Spiritual, mampu membuat regulasi dan aturan yang tepat, bijak, dan bertanggung jawab. Dan yang lebih penting lagi, hanya sumber daya manusia berkualitaslah yang mampu merealisasikan secara benar dan baik aturan dan rencana-rencana gemilang dalam menanggulangi bahaya air, dan mengubahnya menjadi sahabat kita.
Sumber daya manusia berkualitas juga sangat dibutuhkan dalam menegakkan aturan. Permasalahan tercemarnya lingkungan cukup didominasi oleh dunia usaha. Banyak industri dan pelaku usaha sebagai pembuang limbah dan pencemar air. Bahkan pengusaha setingkat mobil jasa sedot tinjapun rajin membuang tinja sedotan septiktanknya ke sungai.
Akhirnya , hanya sumber daya berkualitas yang adil pulalah yang bakalan sanggup menegakkan aturan, menegaskan larangan, dan menindak tegas pelanggar aturan secara bijak dan adil.
Ketika hukum bisa dibeli, maka pelanggar aturan semakin leluasa. Kesimpulannya, supremasi hukum menjadi modal penting keberhasilan penanganan air terpadu dan pelestarian lingkungan. Masalah moral, mentalitas, hati nurani yang didukung juga oleh kesejahateraan yang baikhingga ke akar rumput, juga menjadi signifkan. (*)
Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/
Alamat ratron (surat elektronik): redaksi@kabarindonesia.com
Berita besar hari ini...!!! Kunjungi segera:
http://kabarindonesia.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar