Orang ”Gila” yang Memilih Mencintai Gua

Ia dijuluki sebagai orang yang gila dengan gua. Syahwatnya untuk berpetualang menjelajah dari satu gua ke gua lainnya, bahkan mengalahkan pekerjaan dan profesi mereka yang mapan. Umurnya sudah 75 tahun, tapi masih enerjik. Dia lah dr Robby Ko King Tjoen Sp.KK. Robby memang seorang dokter spesialis kulit dan kelamin. Tapi, publik lebih mengenalnya sebagai sosok yang sangat mumpuni dalam mendalami speleologi (ilmu yang mempelajari segala sesuatu tentang gua). Bahkan, dia juga sebagai penggagas dan pelopor ilmu tersebut sejak 1970-an.

Tak hanya di dalam negeri, nama Robby juga dikenal di dunia internasional sebagai ahli gua ternama. Namun dia tidak pernah menempuh pendidikan formal untuk mempelajari dunia gua, melainkan dengan jalan otodidak.

”Sebagai ahli gua, saya biasa keluar masuk gua. Tapi sebagai dokter ahli kulit dan kelamin, saya biasa menyembuhkan orang (laki-laki) yang salah masuk ’gua’,” ucap pria yang akrab disapa Ko itu lantas tertawa ngakak.

Meski sudah tak lagi muda, Ko masih sangat lincah, lengkap dengan gaya bicaranya yang ceplas-ceplos. Pada 4 Januari lalu, Ko berulang tahun yang ke 75. ”Bintang (zodiac) saya Capricorn. Orang Capricorn itu orang yang keras kepala dan ngeyelan,” sambungnya lalu tertawa lagi.

Saat ditemui di rumahnya di kawasan Cisarua Bogor, Ko sangat bersemangat memamerkan dan menelusuri rumahnya yang unik yang juga disewakan sebagai penginapan umum itu. ”Semua yang mengarsiteki saya,” kata dia sambil masuk ke setiap sudut ruangan yang semua dibangun dengan apik.

Kegemaran ngeluthus keluar masuk gua itu sudah dilakoni Ko sejak duduk di bangku SMA Aloysius Bandung. Setiap ada kesempatan, Ko selalu pergi berpetualang. Kebanyakan dia mendaki gunung seorang diri. Tapi tidak sekadar mendaki, dia juga selalu melakukan dokumentasi fotografi dalam setiap petualangannya. Bahkan saat itu dirinya mulai tertarik dengan penelitian sederhana di bidang geologi dan biologi.

Kecintaannya terhadap dunia alam bebas tak membuat Ko ingin mempelajarinya dalam pendidikan formal. Tapi Ko lebih memilih menekuni dunia kedokteran. Hingga akhirnya pada 1962, dia lulus sebagai dokter dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Kemudian, tahun 1966, Ko resmi menjadi dokter spesialis kulit dan kelamin. ”Cita-cita saya memang jadi dokter. Aneh kan?” ucapnya.

Ternyata, Ko ingin menjadi dokter untuk membiayai kegiatannya di dunia alam bebas. Sebenarnya, dia sempat menjadi pegawai negeri, yakni sebagai dosen di FK UI. Namun pada 1973, pria yang lahir di Magelang itu mengundurkan diri sebagai pegawai negeri. ”Saya tidak mau berkarat. Saya mau meneliti di luar kedokteran,” katanya. Meski demikian, dia tetap menjalankan profesinya sebagai dokter spesialis yang memiliki izin praktek.

Nah, sejak tak terikat sebagai pegawai negeri, Ko tancap gas di bidang lingkungan dan alam. Di tahun yang sama dia melakukan penelusuran gua pertama kali, yakni di Gua Sripit Trenggalek, Jawa Timur. Sejak saat itu Ko kepincut mendalami ilmu gua. Satu persatu dia pun menelusuri gua-gua lainnya di pulau Jawa. Ketika terjun ke lapangan, Ko melakukan pendataan, penelitian terhadap gua-gua yang dikunjunginya. Saking banyaknya gua yang ditelusurinya, Ko pun tidak bisa memberikan data jumlah pastinya.

Bahkan, saking tertariknya dengan gua, Ko tak segan-segan menggali pengetahuan speloelogi hingga ke luar negeri. Dia kerap mengikuti kursus singkat tentang speleologi dan karstologi (ilmu yang mempelajari kawasan batu gamping) di Amerika Serikat, Belgia, Italia, Prancis, dan Inggris. Semua itu dia lakukan seorang diri, dan atas biaya sendiri. ”Semua biaya saya dapat dari buka praktek (dokter kulit dan kelamin),” tuturnya.

Menurut Ko, kegiatan menelusuri gua merupakan petualangan yang sangat komplek. Tidak seperti mendaki gunung di mana pendaki sudah bisa melihat puncak gunung sebagai targetnya, tapi penelusur gua belum tentu tahu dimana perjalanannya akan berakhir.

Bahkan, sebelum menelusur gua seseorang harus mendaki gunung dulu. Belum lagi jika di bawah gua itu ada sungai maka, penelusur gua harus berenang, berarung jeram, bahkan menyelam. ”Kalau ada air terjun di dalam gua, dia juga harus memanjat dan menuruninya,” katanya.

Dari pertemuan-pertemuan dengan para ahli Speleologi dunia, nama Ko mulai terdengar di kancah internasional. ”Saya sering memberikan laporan kondisi gua di Indonesia. Saya berikan sebisanya,” ujarnya lantas tersenyum.

Karena dianggap sebagai orang yang paling mumpuni dari Indonesia, pada tahun 1983, Ko dipercaya sebagai wakil International Union of Speleologie (UIS) untuk Indonesia. Kemudian pada tahun 1986-2000 Ko dipilih menjadi adjoint secretary dari UIS untuk Kawasan Australia-Asia.

Sekitar tahun 1980, Ko berhasil mengumpulkan beberapa pemuda yang berminat mendalami gua di rumahnya. Tentu saja tujuannya untuk menularkan ilmu dan mengenalkan dunia gua kepada generasi muda. Beberapa murid Ko di antaranya Cahyo Alkantana, mendiang Norman Edwin (petualang alam Mapala UI), Effendi Soleman, dan beberapa orang lagi. ”Saya yang mengajarkan mereka tentang speleologi dan caving (susur gua),” katanya.

Kelompok tersebut diberina nama Specavina (Speleologie Caving Indonesia). Karena ada beberapa permasalahan, kelompok tersebut bubar. Pada 23 Mei 1983 Ko mendirikan Himpunan Kegiatan Speleologi Indonesia (HIKESPI). Kalangan internasional mengenalnya dengan nama Federation of Indonesian Speleological Activities (FINSPAC). Ko didapuk sebagai ketua hingga tahun 2005.

Dari situ, Ko mulai kebanjiran order yang diminta sebagai narasumber di beberapa perguruan tinggi negeri maupun swasta ternama untuk memberikan kuliah tentang speleologi dan karstologi. Bahkan Ko juga sering menjadi dosen pembimbing para mahasiswa S1, S2, S3 dalam bidang Wisata Gua, Konservasi Karst, Hidrologi Karst, Sosiologi Kawasan Karst, Segi Hukum Kawasan Karst untuk mahasiswa IPB, ITB, UI. ”Padahal saya sendiri cuma otodidak,” katanya sambil berbisik lalu meringis.

Bagaimana dengan kedokteran Anda? ”Saya ini jadi dokter cuma 10 persen. Karena pendapatan saya dari situ. Sisanya mengabdi untuk ”dunia” saya ini,” kata dia. Ko mengaku pendapatannya sebagai seorang dokter digunakan untuk merealisasikan kegiatannya.

Namun bukan berarti Ko asal-asalan menjadi dokter. ”Saya mengabdi kepada manusianya yang sakit. Tapi bukankah lingkungan itu juga sakit. Siapa yang jadi dokter lingkungan? Semua orang harus jadi dokter lingkungan,” tuturnya dengan nada mantab.

Penulis : Kuh / Jpnn
Sumber : Radar Jogja Edisi 14 Februari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar