Herman Lantang

Kawah Gunung Gede, 1977 | hermanlantang.blogspot.com
Kalau Anda pernah nonton film GIE, Anda akan menemukan tokoh Herman Lantang ini diperankan oleh Lukman Sardi. Tokoh yang menjadi ketua Senat Fak Sastra UI setelah didorong oleh Gie cs untuk bertarung dalam pergulatan politik kampus.

Herman Lantang adalah salah seorang mahasiswa jurusan antropologi di FSUI dan juga salah satu pendiri Mapala UI, yang merupakan akronim dari mahasiswa pencinta alam Universitas Indonesia. Mapala UI yang bagian dari kegiatan senat ini diresmikan pada 12 Desember 1964.
Menjadi kumpulan pertama yang menggunakan istilah pencinta alam tak pelak merupakan beban berat bagi Mapala hingga kini. Pasalnya, sudah bukan rahasia lagi jika salah satu ”kegiatan” orang yang pergi ke gunung adalah mengukir nama di pohon dan mencoret batu kali dengan cat semprot. Belum lagi urusan sampah yang menjadikan Gunung Gede sekarang sebagai tempat sampah terbesar di gunung.

”Memang, menyandang nama ’pencinta alam’ tidak mudah. Kami punya beban moral yang berat. Karena itu juga di luar negeri tidak dikenal kelompok nature lovers, yang ada hanya mountain climbers.”
Diceritakannya, saat pertama naik gunung, pada tahun 1950-an, Herman juga membuang sampah di gunung, tidak dibawa lagi turun. Dan ketika pergi kemping lagi beberapa bulan kemudian di tempat yang sama, dia menemukan lagi sampah yang dulu dia buang.

Itu di tahun 1950-an ketika belum banyak bungkus makanan dari plastik. Plastik sebagai bungkus makanan mulai banyak digunakan pada 1960-an. Dan mulai saat itulah sampah semakin banyak dijumpai di gunung-gunung, hingga saat ini.

Operasi semut—istilah yang digunakan para pendaki gunung untuk menyebut kegiatan memungut sampah—terus dilakukan dari tahun ke tahun, tetap tak mengurangi banyaknya sampah di gunung, karena setiap pendakian selalu meninggalkan sampah. Itu sebabnya Herman menyarankan agar setiap kelompok pendaki gunung mengagendakan metode tidak meninggalkan sampah di gunung.

”Di Bandung, pernah ada seminar yang tujuannya mencari cara terbaik agar tidak ada lagi sampah di gunung. Seminar itu berlangsung sampai berhari-hari, tapi apa hasilnya? Sampah tetap banyak di gunung. Ngga usahlah seminar. Cukup tanamkan budaya kalau makan permen, kantongi bungkusnya. Ini saya tanamkan ke keluarga saya.”
Menularkan kecintaan pada gunung dilakukan Herman sejak awal kepada istrinya, Joyce Moningka, 55 tahun, dan dua anak mereka, Erol Lantang (24) dan Cernan Lantang (21). Langkah pertama adalah pada sang istri yang bukan ”anak gunung”, karena paling banter piknik ke kawasan pegunungan. Awalnya, Herman mengenalkan Mandalawangi Pangrango, berangkat dari Cibodas.

”Saya kawin telat. Usia saya waktu itu 41 tahun sedangkan istri saya 29 tahun. Beda usia kami jauh sekali, tapi kami sangat mesra sampai sekarang karena ya itu tadi, sering jalan-jalan ke gunung.”

Sewaktu sang istri hamil 3 bulan, Herman kembali mengajak Joyce ke Gunung Gede. Cernan di usia 9 bulan belajar jalan di Gunung Papandayan, di kelandaian kerikil kapur dan belerang. Mendaki Pangrango setiap dua tahun sekali dijadikan tradisi di keluarga mereka.

Memperingati meninggalnya Soe Hok Gie, pada tahun 1989, Herman membawa istri dan si sulung yang berusia 5 tahun ke Semeru, tempat Gie meninggal karena mengirup racun yang keluar dari perut gunung Semeru. Bahkan saat kecelakaan membuat tulang pinggangnya patah dan tulang lutut bergeser sehingga harus disangga batang logam di pinggang dan ia berjalan pincang, Herman tetap naik gunung.

Pada Oktober 2007 dia mengalami kecelakaan, tersandung hingga jatuh saat di Balikpapan terkait pekerjaannya sebagai konsultan lepas di bidang minyak. Namun, tidak menunggu lama untuk istirahat, laki-laki asal Tomohon ini naik gunung lagi. Dalam kondisi kaki pincang, ia daki Gunung Mahawu di Sulawesi Utara. ”Dua minggu lagi saya ke Pangrango. Kuncinya adalah persiapan,” nada Herman mantap.

Persiapan inilah yang menurut Herman seringkali diremehkan para pendaki berusia muda. Ketika ke Gunung Gede yang dianggap memiliki tingkat kesulitan rendah, Herman tetap berpakaian lengkap, yakni baju lengan panjang, celana panjang, bersepatu, dan membawa trekking pole (sepasang tongkat untuk mendaki), sementara itu, tak sedikit ia temui pemuda bercelana pendek dan bersandal gunung saja saat mendaki atau saat turun gunung.

”Saya dan istri bisa terus menikmati gunung sampai sekarang kami sama-sama tua ini karena mendaki dilakukan dengan benar. Naik gunung bukan olahraga yang berbahaya kok.”

Bertanya apa enaknya naik gunung tentu akan mendapat jawaban berbeda antara pendaki yang berusia muda dan pendaki yang sudah makan asam garam macam Herman. Di usianya kini tujuan Herman ke gunung hanyalah untuk merasakan udara bersih. Gunung juga jadi ”tempat berobat” untuk penyakit-penyakit ringan. ”Kalau pilek atau batuk ringan saja, pergilah ke gunung. Begitu turun gunung, pasti sembuh. Di gunung udaranya bersih, bisa menghilangkan penyakit.”

Belakangan ini, perhatian Herman banyak tertumpah ke buku yang sedang digarapnya yang membahas 85 gunung di Pulau Jawa, termasuk gunung-gunung kecil macam Gunung Sanggabuana di Karawang Jawa Barat. Kegiatan mengumpulkan materi ini agak tertahan setelah kecelakaan. ”Sekarang, saya sedang butuh petualang untuk meng-up-date apa yang sudah saya tulis sekaligus menyelesaikannya.” Petualang muda, ada yang mau

Tidak ada komentar:

Posting Komentar