Djukardi “Bongkeng” Adriana

Yang Muda Yang Bertualang, Yang Tua Yang Bertualang (Juga)

Oleh : R. Ditta Aditya Pratama

Coba tanyakan nama Djukardi Adriana pada para Pecinta Alam. Mungkin sebagian orang akan mengernyitkan keningnya. Lain halnya bila menyebutkan nama Bongkeng. Pasti banyak kalangan pecinta alam yang mengenalnya. Abah Bongkeng, atau Kang Bongkeng, begitu panggilan akrabnya di kalangan penggiat alam bebas.

Bongkeng, memang sosok yang bisa dikatakan langka. Bila orang seumurnya asyik bersantai di rumah, ia asyik mengarungi rimba. Pria kelahiran 1 September 1950 sudah hampir menyambangi seluruh puncak-puncak gunung di Indonesia. Belum terhitung gunung-gunung lain di luar negeri. Bahkan lima negara Eropa Barat pun sudah dijelajainya.
Sejak bergabung di Organisasi Pecinta Alam di Wanadri Bandung tahun 1973 membuat Pria yang sekarang bekerja sebagai Technical Consultant di Eiger Bandung semakin sering mendaki gunung. Tidak hanya gunung dan hutan, ayah dua putri ini juga senang melakukan aktivitas menantang yang jarang dilakukan pria seumurannya. Seperti arung jeram dan mengadakan kursus konservasi.
Ketika ditemui di arena stand Flying Fox Eiger di acara Kompas Gramedia Fair yang bertempat di Sasana Budaya Ganesa (Sabuga) Bandung, Bongkeng tampil bersahaja. Suami dari Euis Sumiati ini masih asyik bercanda dengan kru dari Eiger yang berbeda generasi dengannya. Penampilannya biasa saja dan tidak mencolok. Bagi yang tidak kenal pasti tidak akan menyangka sosok pria tua ini sudah menaklukkan puncak bersalju Gunung Eiger yang legendaris.
Hari Minggu siang (2/12), suasana Sabuga semakin ramai sehingga sulit mencari tempat sepi untuk melakukan wawancara. Namun mata Bongkeng tertuju pada suatu pojokan yang cukup sepi dan memutuskan untuk diwawancarai disana. Tanpa ada rasa sungkan dan malu, Bongkeng santai duduk di lantai ubin yang berdebu untuk diwawancarai.
Wawancara dengan Bongkeng sempat terputus sejenak karena ada temannya yang ingin pulang dan berpamitan dulu dengannya. Setelah kurang dari setengah jam, Bongkeng kembali menghampiri penulis dan minta diwawancarai kembali.
Bongkeng banyak bercerita tentang keprihatinannya tentang hutan Indonesia yang semakin hancur. Ia mengaku sedih sekali jika kembali ke suatu tempat yang pernah didatanginya, kemudian ketika ia datang, keadaannya sudah jauh berbeda. Ia sering memejamkan mata dan berada di masa lalu. Membayangkan saat tempat tersebut masih asri dan indah.
Bongkeng juga menceritakan tentang asal-muasal nama Bongkeng. Juga masa kecilnya yang membuatnya tertarik dengan kegiatan di alam bebas. Juga soal ketidak-sukaannya tentang seminar-seminar konservasi di Indonesia yang menurutnya jalan di tempat. Satu hal yang cukup menarik, ia menekankan para pecinta alam sekarang untuk tampil rapi dan tidak kumal. Ia ingin kaum pecinta alam bisa terlihat seperti orang-orang biasa tanpa harus bangga memperlihatkan kekumalannya.
Berikut wawancaranya:

Nama lengkap anda itu kan Djukardi Adriana. Kenapa bisa dipanggil Bongkeng?
Bongkeng itu singkatan dari bongkok kerempeng gitu. Sesuai dengan kondisi fisik saya mungkin yah mereka memberi nama itu. Jadi singkatan dari bongkok kerempeng. Padahal bongkoknya udah enggak

Sejak kapan dapat panggilan itu?
Dari tahun 70-an lah. Sewaktu masuk Wanadri.

Oh jadi mulai di Wanadri ya?
Sebelum sebetulnya. Waktu tahun 70 belum Wanadri saya. Saya masuk Wanadri tahun 73. Jadi sebelum masuk Wanadri.

Nama itu gara-gara seorang teman atau semua orang yang memanggil begitu?
Iya tadinya dari salah seorang aja gitu. Akhirnya orang jadi ngikutin semua. (tertawa)

Anda mulai tertarik dengan dunia Pecinta Alam itu sejak kapan?
Kalo hal itu… kayaknya sudah dari sejak kecil lah. Dimana dulu kan orang tua saya itu bekerja di perkebunan yah. Di PNP. Itu karena saya sering diajak jalan-jalan sama orang tua saya ke perkebunan yang ada di daerah-daerah, pada saat beliau tugas. Disitu saya mulai senang dengan alam terbuka.

Kalau boleh tahu suka dibawa kemana waktu kecil?
Kalau saat ditugaskan ke Pangalengan, ke mana lah yang daerah-daerah perkebunan. Jadi mulai disitu mulai menyenangi kegiatan di alam terbuka.

Anda mulai benar-benar menekuni dunia pendaki gunung sejak kapan?
Itu mulai sejak tahun 70. Dimana saya dulu di kampung saya, saya dulu tinggal di Jl. Diponegoro, Taruna Karya bikin suatu perhimpunan gitu yah. Dulu namanya Popay.

Bisa dijelaskan lagi apa itu Popay?
Perhimpunan Pendaki Gunung Popay. Jadi dapet nama dari film-film Popay (Popeye) lah. Mungkin karena Popay perkasa yah. Jadi temen-temen mengambil nama itu. Jadi tahun 70 itu saya tergabung ke dalam Pecinta Alam Taruna Karya.

Anda sekitar umur berapa saat itu?
Sekitar tahun 20-an lah saya.

Kalau Anda mulai ekspedisi naik gunung-gunung di luar negeri sejak tahun kapan?
Itu setelah saya masuk Wanadri. Jadi sekitar tahun 1990 menjelang ke 2000, ekspedisi Alpen pertama dari Wanadri. Jadi ekspedisi pertama Wanadri ke luar negeri itu Alpen.

Indonesia itu termasuk lima besar paling parah perusakan hutannya di dunia. Saya bisa lihat sendiri dan itu betul.”

Ke luar negeri sudah kemana saja?
Kalau ke luar negeri saya baru nyampe ke lima negara Eropa Barat. Diantaranya Swiss, Prancis, Austria, Jerman, dan Itali. Terakhir saya ke Gunung Eiger. Itu pada tahun 2002. Bertiga saya mencoba mendaki Eiger karena Eiger yang memproduksi perlengkapan-perlengkapan ini memakai nama Eiger tetapi belum pernah mendakinya. Jadi kita memproklamirkan nama ini lah. Jadi kita coba tahun 2002.

Sekarang kalau perjalanan paling berkesan menurut anda kemana?
Kalau berbicara berkesan, itu susah untuk menentukan yang paling berkesan. Karena setiap melakukan pendakian atau perjalanan ke medan-medan manapun, gunung-gunung yang baru, itu selalu kesannya lain. Jadi berkesan dan berkesan terus. Kecuali kalau saya sudah berhenti melakukan hal ini. Itu akan bisa dirasakan yang paling berkesan dimana.

Jadi sekarang masih ingin naik gunung terus?
Ya! Mungkin selama, yaaa Insya Allah selama saya masih kuat berjalan. Masih merasa mampu. Yaaa saya memang pekerjaannya disini.

Masih mau naik gunung mana lagi?
Kalau impian seorang pendaki gunung sudah pasti ya. Impiannya adalah puncak tertinggi di dunia. Jadi cita-citanya sampai Mount Everest gitu. Tetapi kembali ke masalah klasik. Dana. Sekarang belum ada yang mensponsori. Belum terbayang. Tetapi masalah cita-cita, seorang pendaki gunung pasti ingin sampai ke titik yang tertinggi. Nah kalau kembali ke masalah kesan tadi, sampai sekarang tidak bisa berbicara ke masalah kesan itu. Karena masih ada keinginan yang kesannya masih lebih tinggi.

Sekarang kan anda bekerja. Kalau Abah merasa ingin refreshing misalnya naik gunung tetapi tidak mau mengganggu pekerjaan gimana?
Kebetulan kerja saya di Eiger itu gunung ke gunung. Artinya saya sebagai konsultan dan sebagai expert di bidang masalah peralatan yang dia produksi. Artiannya banyak barang-barang yang diproduksi Eiger harus diuji coba. Nah saya sebagai penguji coba. Jadi kalau saya menguji coba ke medan yang sebenarnya kan. Jadi tanpa ada waktu untuk refreshing tapi saya sudah refreshing juga.

Selama anda menggeluti dunia pendaki gunung, apa yang telah anda dapatkan?
Dalam hal itu, menemukan kepuasan. Dimana saya sebagai pendaki gunung ketika mencapai puncak. Khususnya yang belum pernah didaki dan saya mencapai puncak tersebut, disitulah saya mendapat kepuasan.

Terkadang saya merem dan saya membayangkan berjalan di masa lalu. Dimana saya berjalan di bawah keteduhan pohon dan tumbuhan. Kalau sekarang sudah haduh… Sedih lah.”

Kalau dari keluarga bagaimana?
Keluarga mendukung. Karena tahu, hidup saya dari sini. Jadi kemanapun saya pergi dan sebagainya, keluarga sudah memakluminya.

Anak-anak anda ada yang mengikuti jejak ayahnya?
Tidak ada. Dan saya berharap memang jangan. Cukup babehnya aja. Kebetulan dua-duanya perempuan dan tidak berkesempatan untuk mengikuti jejak saya. Karena mereka lebih dibawa ke sekolah. Difokuskan ibunya ke sekolah aja.

Kenapa tidak mengikuti jejak anda? Biar tidak sering jalan-jalan?
Itu pertama. Yang kedua, cukup saya yang merasakan di bidang pendaki gunung ini. Sebab sangat berat. Gitu. Untuk masuk dan mengembangkan dunia pecinta alam ini untuk bisa diterima masyarakat awam. Berat. Memang sekarang sudah mulai kan. Mungkin itu juga berkat perjuangan saya. Kalau sekarang sudah enak.

Memang waktu dulu zaman anda masih muda pecinta alam dianggap sebagai apa?
Sebagai gelandangan! Orang-orang awam tidak mengerti dengan para penggiat kegiatan alam. Karena sampai sekarang, walaupun saya sedang mencoba, saya tidak mau pecinta alam identik dengan kotor, kumal, gondrong, dan sebagainya. Saya ingin pecinta alam sekarang itu bisa seperti halnya orang lain. Orang kantoran atau mungkin orang-orang yang berdasi gitu. Itu bisa! Dan sebetulnya harus begitu! Tidak harus memperlihatkan kelakuan khasnya yang kumal.

Jadi pecinta alam harus rapi?
Harus rapi!

Kalau dilihat banyak orang yang menamakan pecinta alam tetapi melakukan hal-hal yang seharusnya tidak dilakukan. Menurut anda kenapa?
Masalahnya, kalau saya lihat, selama ini di dalam kegiatan-kegiatan pecinta alam, saat melakukan pendidikan dasar, semua teknik hidup di alam terbuka diajarkan. Tetapi ada yang tidak diberikan. Yaitu masalah konservasi. Tidak ada pengetahuan materi konservasi yang dibundel dalam suatu diktat. Yang kurang adalah pengetahuan tentang masalah konservasi.

Yang anda lihat dari koservasi di Indonesia itu belum jalan atau sudah jalan tapi terlambat?
Mungkin terlambat kalau saya bilang. Dan masalah konservasi sebenarnya para pecinta alam adalah pencetus pertama. Bisa ditelaah dari kode etik pecinta alam. Disitu ditulis kata-kata untuk menjaga lingkungan. Dan itu dicetuskan sejak tahun 1974 di Ujung Pandang (Makassar). Disitu udah jelas. Kalau mau dibandingkan dengan pemerintah, pemerintah baru berjalan sekarang-sekarang ini.

Lalu apa sebenarnya konservasi menurut anda?
Khususnya menjaga kelestarian alam dimana tempat kita bermain. Setidaknya jangan vandalisme. Sebab kita tidak bisa mengurus masalah hutan dan tumbuh-tumbuhan yang ada disana. Tapi jaga kebersihannya lah. Tidak buang sampah sembarangan. Itu aja dulu. Kalau bicara soal menanam pohon, itu soal pengetahuan juga. Karena tidak bisa sekali menanam langsung jadi itu pohon.

Jadi anda prihatin sekali dengan sekarang ini ya?
Ooh ya jelas. Karena bisa kita rasakan lah. Kemana kita bermain, dimana kita berdiam, mendirikan bivak (tempat berlindung), khususnya di gunung-gunung yang kita daki, di Jawa Barat, tempat kita camping, itu semuanya sampah. Gimana mau nyaman. Kita pasang tenda disitu, mau istirahat, melihat sampah dan berantakannya sampah-sampah ya enggak enak dilihat.

Kalau anda sendiri pernah melakukan pelatihan konservasi atau ikut seminar konservasi?
Ya sering sih saya diminta. Tapi sebenarnya saya kurang berminat dalam seminar konservasi. Karena biasanya seminar (konservasi) berbicara di tempat, dan ujung-ujungnya hanya membicarakan sesuatu yang tidak jelas. Jadi inginnya bila saya diminta untuk berbicara dalam masalah konservasi, saya minta ada praktek langsung. Jadi ada kiprahnya.

Anda setuju masalah dan bencana yang sering melanda Indonesia sekarang erat dengan gagalnya konservasi?
Ya betul itu! Kenapa setelah adanya masalah ini baru masalah konservasi ramai dibicarakan lagi. Padahal khususnya dalam pecinta alam itu sudah tercetus. Di tahun 74. Sebelum pemerintah gembar-gembor tentang masalah ini. Itu yang terlupakan dari pecinta alam. Saya juga pernah menjadi kader konservasi yang pernah diselenggarakan oleh pihak Kehutanan. Walaupun saya rasa kurang. Karenanya saya membuat kursus konservasi yang ala saya dengan mempelajari kekurangan-kekurangan dari pihak Kehutanan.

Apa saja kekurangan pelatihan konservasi dari pihak Kehutanan?
Kembali ke masalah tadi seperti halnya seminar. Jadi belajar di kelas tanpa mendalami di luar. Atau simulasi-simulasi lah. Hanya teori saja, dan dapat lisensi, sertifikat.

“…saya tidak mau pecinta alam identik dengan kotor, kumal, gondrong…”

Kalau kursus konservasi ala Bongkeng seperti apa?
Saya membuat kursus konservasi itu satu tahun lamanya. Satu tahun membuat para peserta kursus itu sampai titik ekspedisi. Artinya praktek sambil ekspedisi. Itu mempraktekkan segala sesuatu yang telah kita berikan. Baru mendapatkan lisensi. Itu sekitar tahun 1995. Jadi tidak diadakan setahun penuh. Sewaktu libur, kita panggil lagi pesertanya. Sewaktu akhir, baru diadakan ekspedisi. Eksplorasi ke suatu daerah dan mereka mempraktekkan apa yang telah didapat. Seperti penelitian burung, penelitian tumbuh-tumbuhan, dan lain-lain.
Kembali ke soal bencana, anda paling prihatin melihat bencana di Indonesia itu bencana apa?
Kerusakan hutan kalau saya lihat. Kalau melihat suatu daerah kena banjir, longsor, dan itu jelas sumbernya itu ga dari mana-mana. Itu dari kerusakan hutan. Sangat prihatin sekali gitu. Indonesia itu termasuk lima besar paling parah perusakan hutannya di dunia. Saya bisa lihat sendiri dan itu betul. Saya pernah mengajak para Polisi Hutan di Kerinci Seblat. Saya memberikan ketahanan kepada mereka untuk memberikan operasi para perambah hutan. Pada saat praktik, saya mencoba untuk mempraktikkan penggrebekan perambah. Itu bahkan tidak diduga, pada saat itu saya kaget, karena sebelumnya tidak tahu akan separah itu (kerusakannya).

Separah apa?
Dalam artiannya pohon-pohon berumur ratusan tahun ditebang habis dan itu (daerahnya) tidak bisa dijangkau dan dilihat langsung oleh orang-orang perkotaan. Di tengah hutan belantara yang menuju lokasinya saja tiga hari tiga malam. Dan itu memang habis.

Bisa dibandingkan dengan zaman anda dulu?
Sangat jauh banget perbandingannya. Misalnya Gunung Semeru. Itu dari kampung terakhir, menuju Rane Pane itu jalan kaki. Masih jalan setapak. Hutan belantara. Tahun 70-an. Sekarang kendaraan sudah bisa melaluinya. Bahkan kiri-kanannya sudah habis gitu. Sedih jadinya. Kadang kalau saya berjalan ke medan manapun yang sudah pernah dijalani, dibading sekarang ya gimana gitu. Terkadang saya merem dan saya membayangkan berjalan di masa lalu. Dimana saya berjalan di bawah keteduhan pohon dan tumbuhan. Kalau sekarang sudah haduh… Sedih lah.

Kalau baru-baru ini melakukan perjalanan kemana?
Kemarin saya baru pulang dari Kalimantan. Kalimantan dulu dengan sekarang sudah lain. Dan sangat menyedihkan. Padahal saya saat itu sedang mengadakan kursus Mountain And Jungle Course, yang mengangkat tentang masalah konservasi. Medan yang saya pakai itu di Taman Nasional Kutai. Pada saat awal saya berangkat untuk survey, untuk setting lokasi, alamnya masih bagus. Titik-titik setting untuk nanti praktek saya dapatkan dengan baik. Nah belum dua bulan, mungkin satu bulan setengah saya kembali untuk advance kesana, seminggu sebelum pelaksanaan, hutan sudah habis. Dan yang sudah saya setting sudah tidak ada.

Padahal itu statusnya taman nasional ya?
Taman nasional. Itu juga yang habisnya di pinggir kantor taman nasional. Pinggir dan depan. Sampai saat itu suara-suara chaisaw (gergaji mesin) terdengar. Dan saya tahu ada di depan mata. Mereka (pihak taman nasional) ga bisa berkutik juga. Sangat pilu mendengarnya. Mau berbuat sesuatu tidak bisa juga. Itu kan hak pemerintah. Dari situ banyak timbul pertanyaan. Apa ada kerjasama? Atau tidak berani melakukan sesuatu? Kita hanya bisa mencoba untuk menghimbau yang punya lahan itu, karena kami tidak punya hak untuk menghentikannya. Kita kesana mau memberitahu alam ini harus dijaga. Tapi belum mulai saja alamnya sudah habis duluan. Yang akhirnya pada saat itu harus pindah tempat. Akhirnya acara bisa dilanjutkan, mengambil tempat lebih ke dalam hutan. Selesai acara. Seminggu kemudian kita dengar kabar. Daerah tersebut sudah habis. Semua. Sekeliling kantor saja sudah habis. Bukan dijarah lagi. Kantor sampai didemo oleh masyarakat.
“…saya pergi kerja dengan bersepeda. Lumayan dari Tegallega sampai ke Cihampelas…”
Amda menaruh harapan besar konservasi ini ke mana?
Ke pecinta alam. Kalau untuk memperbaiki keadaan nggak mungkin. Tapi tingkah laku kita lah. Dari kita dulu. Dan jangan ingin dilihat sebagai Hero. Sebagai pahlawan. Seperti gue nanam pohon disini! Tidak usah berbicara seperti itu. Tidak usah seminar-seminar. Kiprah aja. Kalau punya niat baik kemana kita jalan bawa bibit. Tumbuhi sendiri tanpa harus publikasi. Saya juga seperti itu. Kalau buat kursus terkadang saya gratisin tapi saya berharap dari para peserta membawa bibit pohon. Misal peserta 50 orang tiap orang membawa bibit ya lumayan. Mudah sebetulnya untuk para organisasi pecinta alam. Ada pendidikan dasar, kenapa pesertanya tidak dibawa ke arah sana gitu. Oke kalau harus bayar tetapi boleh dengan bibit. Lebih baik lagi kalau bayarnya memang menggunakan bibit. Kan lumayan kita meninggalkan lokasi latihan sambil memperbaiki lokasi latihan. Atau saat jalan-jalan, kenapa enggak bawa bibit? Kalau begitu kami sering lakukan tanpa orang harus tahu. Buat masa depan juga. Jangan berpikir sekarang. Sebab tidak mungkin pecinta alam Indonesia memiliki modal untuk menghijaukan Indonesia.(tertawa). Modal urusan pemerintah daerah. Tapi kalau soal tenaga kami bisa membantu. Kumpulkan jutaan pecinta alam di Indonesia. Bisa kan jalan.
Di usia anda yang sudah 57 tahun, dimana orang seusia anda sudah santai-santai di rumah, anda masih mampu jalan-jalan. Cara menjaga kondisi fisiknya gimana?
Mungkin kalau sekarang, dalam sebulan satu atau dua kali sebulan saya gerak lah. Gerak di luar dalam artian pergi kemana. Itu hitungannya olahraga. Kalau tidak sempat kemana-mana saya jogging tiga kali seminggu. Atau saya pergi kerja dengan bersepeda. Lumayan dari Tegallega sampai ke Cihampelas. Multivitamin juga. Minggu lalu saya baru bermain arung jeram di Asahan. Sering jalan-jalan jadi terbiasa. Kadang-kadang kalau tidak jalan-jalan malah sakit. Tapi kalau sakit saya bukan lari ke dokter. Karena saya tahu mungkin itu rindu alam. Jalan-jalan ke hutan ya langsung sembuh.
Anda kan identik dengan pendaki gunung. Apa punya hobi lain?
Teman-teman mengenal saya identik dengan hutan gunung saja. Sebetulnya saya merasa sebagai petualang ajah. Jadi segala hal yang berbau tantangan saya geluti.Orang-orang terlalu tahu saya sebagai pendaki gunung, padahal saya sering berarung jeram.
Kalau anda merasa kalau orang-orang mulai mengenal anda sejak kapan?
Hal itu saya kurang tahu. Sebetulnya saya tidak mau orang-orang mengenal saya. Saya tidak mau jadi orang terkenal. Karena jadi orang terkenal itu saya rasa berat. Bukan tidak enak, tapi berat. Harus menjaga nama baik, kelakuan, dan sebagainya begitu ya. Saya tidak mau dikenal orang tapi saya ingin melakukan sesuatu untuk orang banyak.
Kalau anda sendiri melihat seorang Djukardi Adriana seperti apa?
Kalau saya melihat diri sendri, saya melihat dan ingin menjadi diri sendiri saja. Saya tidak mau menjadi orang lain. Apapun yang saya lakukan dan saya senangi kalau itu tantangan buat saya. Akan saya lakoni. Tidak terikat dengan seseorang. Kalau sekedar memberi motivasi adalah guru-guru di Wanadri. Dan itu banyak. Tetapi tidak ingin sampai seperti mereka.
Anda ada pesan untuk para pecinta alam dan orang-orang yang mendalami kegiatan di alam bebas?
Pesan dari saya, khususnya teman-teman yah, yang senang bermain di alam. Bekali dulu tentang pengetahuan tentang teknik hidup di alam terbuka. Karena tanpa pengetahuan tersebut, yaa alam ini tidak bisa kompromi dengan kita. Artiannya yah mungkin kita tanpa pengetahuan, melakukan pendakian gunung, suatu saat alam tidak ramah, kita harus berbuat apa tanpa pengetahuan. Misalnya tersesat. Tanpa pengetahuan apakah mungkin mereka bisa kembali. Bekali dulu dengan pengetahan. Dan jadilah diri sendiri. Kalau buat pecinta alam, jadilah dirimu sebaik-baik dari dirimu. Juga jangan dilupakan hal itu (konservasi). Dan buat teman-teman yang mempunyai organisasi coba mulai sekarang materi tentang lingkungan dan konservasi dimasukkan ke diktat lah. Berikan pelajaran tentang itu. Jadi etika tentang mendaki gunung. Jaga lingkungan untuk pendaki gunung dan pecinta alam.
Djukardi “Bongkeng” Adriana
Jl. Tegallega Barat Gang Muhammadiyah 159/95 Bandung (rumah)

Facebook :   Kang Bongkeng Full

Jl. Cihampelas No.22 Bandung 40116 telp. (022) 4231668 (EIGER)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar