Entah sudah berapa puluh kali penghuni negara ini menangis. Berduka dalam semua sendi kehidupan. Setelah gempa dahsyat mengguncang Padang, kini badai kebengisan alam kembali terjadi di ujung pulau Republik ini, Wasior, Papua Barat.
Gara-gara banjir bandang yang meluluhlantakkan kabupaten itu, nama Wasior menjadi nama baru yang kita dengar. Sebelum bencana, di antara kita mungkin tidak tahu di negara ini ada daerah bernama Kabupaten Wasior.
Wasior sebuah kota di kawasan Teluk Wondama itu luluh lantak diterjang banjir bandang 3 Oktober lalu. Sedikitnya 148 nyawa melayang dan ratusan lainnya dinyatakan hilang. Tak hanya itu, seluruh sarana, prasarana dan infrastruktur kota hancur lebur. Inilah bencana ketiga kalinya yang dialami masyarakat Wasior.
Seperti biasa, pemerintah lamban bekerja menangani korban, tak heran ribuan pengungsi sampai hari ini mulai terserang berbagai penyakit. Pemerintah seperti setengah hati menangani penderitaan anak bangsa sendiri. Mungkin karena letaknya jauh dari pusat kota. Sampai-sampai Presiden sendiri berulang kali menunda datang ke lokasi bencana, walaupun hanya sekedar seremonial belaka.
Lucunya, bukannya cepat memberi pertolongan, elit Jakarta malah sibuk berperang argumentasi mencari pembenaran dari derita masyarakat Wasior. Adalah Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan yang memulainya.
Dengan tegas, menteri asal Partai Amanat Nasional itu menuding penyebab terjadinya malapetaka itu akibat penebangan resmi maupun yang ilegal. Pernyataan tersebut didukung sepenuhnya oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan Hari Daryanto.
Dia menegaskan, perambahan hutan untuk perkantoran dan perumahan pemerintah daerah menyebabkan daya dukung lingkungan Cagar Alam Wondoboi di Wasior merosot dan menimbulkan banjir bandang.
Pernyataan tersebut dibantah langsung oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Syamsul Maarif yang menegaskan bahwa banjir itu disebabkan karena curah hujan yang sangat tinggi dalam beberapa pekan belakangan ini.
Jauh dari Fakta
Perdebatan dua kubu itu mencapai klimaksnya saat Presiden SBY mengeluarkan pernyataan bahwa bencana di Wasior bukan karena pembalakan liar seperti yang dikatakan Zulkifli Hasan. Presiden memakai dasar pernyataan itu berdasarkan laporan dari BNPB, bukan dari yang lain.
Menteri Zulkifli pun balik badan, seia sekata dengan Presiden bahwa banjir bandang itu bukan karena pembalakan liar, tapi seirama menyalahkan alam sebagai biang keladinya. Yah, Menteri hanya sebagai pembantu Presiden, dan sebagai politisi teramat wajar "menjilat ludah" yang sudah dibuang.
Tetapi, pernyataan elit kekuasaan itu dibantah mentah-mentah oleh masyarakat Wasior dan fakta di lapangan. Saat banjir bandang, puluhan kayu mengikuti arus bah menghantam bangunan penduduk. Bahkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) tetap tegas menuding bencana itu gara-gara pembalakan liar.
Fakta lain adalah, Wasior sangat tidak layak huni. Karena berada di antara lembah dataran rendah. Implikasinya, daerah itu rawan banjir dan longsor. Tetapi, karena kuatnya kepentingan politik lokal yang menghalalkan segala cara untuk menjadikan Wasior sebagai kabupaten, dicarilah cara pembenaran dengan menyalahkan alam, masuk akal juga. Karena tidak mungkin alam akan menuntut politisi nakal ke meja hijau.
Namun jangan salah, alam akan kembali murka akibat kelalaian dan kebengisan manusia, terutama elit-elit negara yang gemar mengambinghitamkan alam. (*)
Sumber : KabarIndonesia.com
Gara-gara banjir bandang yang meluluhlantakkan kabupaten itu, nama Wasior menjadi nama baru yang kita dengar. Sebelum bencana, di antara kita mungkin tidak tahu di negara ini ada daerah bernama Kabupaten Wasior.
Wasior sebuah kota di kawasan Teluk Wondama itu luluh lantak diterjang banjir bandang 3 Oktober lalu. Sedikitnya 148 nyawa melayang dan ratusan lainnya dinyatakan hilang. Tak hanya itu, seluruh sarana, prasarana dan infrastruktur kota hancur lebur. Inilah bencana ketiga kalinya yang dialami masyarakat Wasior.
Seperti biasa, pemerintah lamban bekerja menangani korban, tak heran ribuan pengungsi sampai hari ini mulai terserang berbagai penyakit. Pemerintah seperti setengah hati menangani penderitaan anak bangsa sendiri. Mungkin karena letaknya jauh dari pusat kota. Sampai-sampai Presiden sendiri berulang kali menunda datang ke lokasi bencana, walaupun hanya sekedar seremonial belaka.
Lucunya, bukannya cepat memberi pertolongan, elit Jakarta malah sibuk berperang argumentasi mencari pembenaran dari derita masyarakat Wasior. Adalah Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan yang memulainya.
Dengan tegas, menteri asal Partai Amanat Nasional itu menuding penyebab terjadinya malapetaka itu akibat penebangan resmi maupun yang ilegal. Pernyataan tersebut didukung sepenuhnya oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan Hari Daryanto.
Dia menegaskan, perambahan hutan untuk perkantoran dan perumahan pemerintah daerah menyebabkan daya dukung lingkungan Cagar Alam Wondoboi di Wasior merosot dan menimbulkan banjir bandang.
Pernyataan tersebut dibantah langsung oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Syamsul Maarif yang menegaskan bahwa banjir itu disebabkan karena curah hujan yang sangat tinggi dalam beberapa pekan belakangan ini.
Jauh dari Fakta
Perdebatan dua kubu itu mencapai klimaksnya saat Presiden SBY mengeluarkan pernyataan bahwa bencana di Wasior bukan karena pembalakan liar seperti yang dikatakan Zulkifli Hasan. Presiden memakai dasar pernyataan itu berdasarkan laporan dari BNPB, bukan dari yang lain.
Menteri Zulkifli pun balik badan, seia sekata dengan Presiden bahwa banjir bandang itu bukan karena pembalakan liar, tapi seirama menyalahkan alam sebagai biang keladinya. Yah, Menteri hanya sebagai pembantu Presiden, dan sebagai politisi teramat wajar "menjilat ludah" yang sudah dibuang.
Tetapi, pernyataan elit kekuasaan itu dibantah mentah-mentah oleh masyarakat Wasior dan fakta di lapangan. Saat banjir bandang, puluhan kayu mengikuti arus bah menghantam bangunan penduduk. Bahkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) tetap tegas menuding bencana itu gara-gara pembalakan liar.
Fakta lain adalah, Wasior sangat tidak layak huni. Karena berada di antara lembah dataran rendah. Implikasinya, daerah itu rawan banjir dan longsor. Tetapi, karena kuatnya kepentingan politik lokal yang menghalalkan segala cara untuk menjadikan Wasior sebagai kabupaten, dicarilah cara pembenaran dengan menyalahkan alam, masuk akal juga. Karena tidak mungkin alam akan menuntut politisi nakal ke meja hijau.
Namun jangan salah, alam akan kembali murka akibat kelalaian dan kebengisan manusia, terutama elit-elit negara yang gemar mengambinghitamkan alam. (*)
Sumber : KabarIndonesia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar