Pemanfaatan Sumber Daya Alam

Pemanfaatan sumber daya alam – Dewan Riset Daerah (DRD) Prop. Kalsel menyampaikan hasil riset yang isinya sangat merisaukan, karena hasil riset tersebut menyatakan bahwa pembangunan ekonomi di Kalsel sangat mengandalkan kekayaan sumber daya alam (SDA), namun mengabaikan upaya pelestarian SDA tersebut (Radarbanjarmasin, 30 Mei 2006). Betapa beruntungnya Kalsel masih mempunyai kekayaan sumber daya alam, namun harus tetap diingat bahwa kekayaan tersebut pada suatu waktu akan habis, terlebih lagi bila tidak digunakan dan dikelola dengan bijaksana. Sebagaimana keadaan hutan Kalsel yang semakin rusak, di mana luas lahan kritis di Kalsel tercatat sekitar 555.983 hektare. Kerusakan hutan di Kalsel sudah mulai menampakkan wajah bencananya, saat musim hujan akan terjadi banjir dengan genangan yang semakin luas dan longsor. Begitu juga saat musim kemarau akan terjadi kekeringan dan kebakaran hutan dan lahan.

Pengabaian upaya pelestarian SDA sebenarnya sudah dapat dilihat dari masifnya illegal mining yang meninggalkan lahan berantakan di beberapa tempat dan illegal loging. Pertambangan legal saja masih perlu dipertanyakan dalam pengelolaan lahan pasca tambang. Adakah pertambangan legal yang berhasil dalam reboisasi dan reklamasi pada areal mereka yang sudah ditambang? Mungkin, “danau raksasa” sudah menjadi jamur di musin hujan, yang ditinggalkan kegiatan pertambangan di Kalsel.

Pemanfaatan hutan yang berlebihan (seperti kesalahan pengelolaan dan illegal loging) bila tidak dihentikan, maka dalam waktu singkat akan terjadi penggurunan (desertification), yaitu perubahan ekologi secara perlahan ke arah lahan kering yang berkarakterisitik seperti gurun. Luasan lahan kritis di Kalsel sudah mengarah pada penggurunan, sementara kerusakan hutan yang tersisa masih terus berlangsung, yang terkesan hanya ditangani oleh pihak kepolisian dalam pemberantasan illegal loging. Ke mana pemerintah daerah dalam mengupayakan dan mencarikan alternatif dalam melindungi hutan dan masyarakat yang ada di dalam dan di sekitar hutan tersebut? Pemerintah daerah hanya berupaya dalam mengejar target pendapatan asli daerah (PAD), dengan mengandalkan kekayaan sumber daya alam layaknya sebagai warisan untuk dinikmati segelintir orang yang hidup saat ini.

Dalam memperingati Hari Lingkungan Hidup tahun 2006 ini, UNEP mengangkat tema Deserts and Desertification, yang seolah ditekankan oleh Dewan Riset Daerah (DRD) Kalsel bahwa masih diabaikannya upaya pelestarian sumber daya alam (SDA) dapat menyebabkan penggurunan (desertification). Atau, dengan kata lain pemanfaatan cenderung hanya berdasarkan pandangan jangka pendek dengan menekankan hasil ekonomi yang cepat dan keuntungan yang segera. Sehingga, batubara sebagai salah satu sumber daya alam Kalsel diperkirakan akan habis dalam waktu 5 – 7 tahun, belum lagi banyaknya pertambangan ilegal yang bisa mempercepat terkurasnya cadangan batubara dan hancurnya bentang alam. Pengabaian upaya pelestarian sama saja tinggal menunggu waktu terjadinya penggurunan. Penggurunan (desertification) pun sudah nampak di beberapa tempat, seperti pada lahan Sejuta Hektar Kalteng di mana sebagian dari lahannya berubah menjadi gurun pasir.

Penggurunan (Desertification)

Peringatan bahaya perusakan ekologi yang disebabkan oleh penggunaan lahan sudah banyak dinyatakan oleh para ahli. Para ahli ekologi memperkirakan bahwa pada tahun 1960-an adalah periode kekeringan di sabuk Sahel dan Sub-Sahel (Afrika), karena tanah dan rezim air tidak dilindungi dan dipelihara, terutama karena hilangnya vegetasi normal. Perkiraan tersebut tidak didengarkan, namun setelah terjadi kekeringan yang melanda Sahel dan daerah sekitarnya di Afrika pada tahun 1960-an dan 1970-an baru menarik perhatian pemerintah-pemerintah yang bersangkutan dan menganggap sebagai masalah yang sangat besar (Kai Curry-Lindahl dalam Nicholas Polunin (Ed.), 1997).

Konferensi PBB tentang Penggurunan dilaksanakan di Nairobi, Kenya, pada tahun 1977 yang menyatakan “penyebab utama penggurunan ialah interaksi antara manusia dan lingkungan yang rapuh pada ekosistem lahan kering; manusia merupakan penyebab dan korban penggurunan; praktik penggunaan lahan yang tidak layak derajatnya maupun jenisnya merupakan penyebab langsung penggurunan di wilayah-wilayah kritis”. Aktivitas manusia yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan yang dianggap sebagai penyebab utama penggurunan. Tiap wilayah memiliki daya dukung yang tidak boleh dilampaui, sehingga sudah seharusnya tidak menimbulkan kerusakan, penurunan kualitas dan penurunan produktivitas sebagai kaidah ekologi yang tidak beloh dilupakan dalam penggunaan lahan.

Berdasarkan Facts about Deserts and Desertification (www.unep.org), sebesar 41 persen area lahan bumi merupakan lahan kering (drylands) dan merupakan tempat tinggal lebih dari 2 milyar orang. Setengah dari manusia yang hidup dalam kemiskinan berada pada lahan kering. Mereka sangat tergantung pada sumber daya alam yang tersedia untuk kebutuhan dasar mereka. Manusia yang tinggal di lahan kering (drylands), 90 persen dari mereka ada di negara berkembang, yang berada jauh di bawah taraf hidup dan indikator pembangunan. Di negara berkembang, kematian bayi di lahan kering (drylands) rata-rata sekitar 54 anak per 1.000 kelahiran, dua kali lebih tinggi dari area non-dryland, dan 10 kali tingkat kematian bayi di negara maju.

Penggurunan (desertification) didefinisikan oleh the UN Convention to Combat Desertification sebagai “degradasi lahan pada area arid, semi-arid and dry sub-humid yang disebabkan dari bermacam-macam faktor, termasuk perubahan iklim dan kegiatan manusia”. Degradasi lahan di lahan kering secara jelas ditunjukkan dengan berkurangnya bahkan kehilangan produktivitas pada lahan kering tersebut secara biologi atau ekonomi. Hal ini berpengaruh terhadap sepertiga permukaan bumi dan lebih dari 1 milyar manusia. Konsekuensi terjadinya penggurunan dan kekeringan adalah kemiskinan absolut. Di samping itu, ketegangan-ketegangan sosial, ekonomi dan politik dapat menciptakan konflik-konflik, yang menyebabkan lebih berbahaya dan selanjutnya meningkatkan degradasi lahan. Pertambahan lahan kritis yang menuju penggurunan di seluruh dunia menyebabkan jutan orang miskin terpaksa mencari hunian baru.

Lahan kering yang mengalami degradasi di seluruh dunia antara 10 dan 20 persen dari lahan kering yang ada, masalah yang lebih buruk terjadi di negara-negara berkembang. Jumlah wilayah lahan yang mengalami penggurunan diperkirakan antara 6 dan 12 juta kilometer persegi (sebagai perbandingan, negara Brasil, Kanada, dan Cina seluruhnya antara 8 dan 10 juta kilometer persegi). Lahan kering merupakan 43 persen dari lahan tanaman dunia. Degradasi lahan menyebabkan kerugian yang diperkirakan 42 milyar dolar setahun dari produksi pertanian. Di samping itu, setiap tahun 20 juta hektar lahan pertanian mengalami degradasi untuk tanaman produksi atau menjadi hunian urban.

Pertambahan penduduk menyebabkan peningkatan tekanan terhadap lahan untuk dijadikan lahan pertanian dan sumber-sumber air. Penggurunan ditemukan pada beberapa tingkatan, yaitu: 30 persen pada lahan irigasi, 47 persen pada lahan pertanian tadah hujan, dan 73 persen pada lahan perternakan. Setiap tahunnya, diperkirakan 1,5 – 2,5 juta hektar pada lahan irigasi, 3,5 – 4 juta hektar pada lahan pertanian tadah hujan, dan kira-kira 35 juta hektar pada lahan peternakan hilang seluruhnya atau sebagian dari produktivitasnya menurun karena degradasi lahan.

Oleh karena itu, The UN General Assembly (Pertemuan Tingkat Tinggi Badan Dunia) menyatakan bahwa tahun 2006 sebagai the International Year of Deserts and Desertification. Penggurunan mempunyai konsekuensi-konsekuensi, diantaranya: (1) mengurangi produksi makanan, mengurangi produktivitas tanah, dan menurunkan kelenturan alami lahan, (2) meningkatkan banjir di dataran rendah, mengurangi kualitas air, sedimentasi pada sungai dan danau, (3) memperburuk masalah kesehatan karena debu, seperti infeksi mata, alergi, dan mental stres, dan (4) kehilangan penghidupan mendorong orang melakukan migrasi.

Sebelum terjadinya penggurunan, lahan kering (drylands) sendiri sebenarnya mempunyai beberapa masalah, antara lain: (1) orang miskin di lahan kering, khususnya wanita, tidak mempunyai kekuatan secara politik dan sering kurang menerima pelayanan-pelayanan yang penting, seperti kesehatan, penyuluhan pertanian dan pendidikan; wanita juga mengalami diskriminasi dalam peraturan kepemilikan lahan, (2) hunian di lahan kering sering kurang dalam perlengkapan pertanian, seperti peralatan, pupuk, air, pestisida dan bibit, mereka tidak cukup mempunyai akses pasar dan produk mereka sering dihargai rendah karena alasan kualitas rendah, (3) komunitas-komunitas lokal sering tidak mendapatkan keuntungan dari sumberdaya-sumberdaya lokal, seperti pertambangan, wildlife, dan kegiatan tourist, (4) akses terhadap air dan hak terhadap sumberdaya ini sering tidak mencukupi, dan sumberdaya air sering dikelola dengan jelek, lebih mengarah pada overuse dan salinisasi, (5) lahan sering digarap berlebihan, cenderung mengalami penurunan produktivitas, dan (6) komunitas lahan kering khususnya rentan pada kekeringan, mereka sering tergantung yang disediakan alam atau subsistem dan kurang persediaan makanan, uang, asuransi atau bentuk lainnya dari jaring pengaman sosial untuk menghadapi tahun-tahun sulit.

Pertimbangan Ekologi

Pembangunan, apalagi dilaksanakan di daerah yang mengandalkan pada sumber daya alam (SDA), seperti Kalsel, sudah seharusnya tidak mengesampaing (mengabaikan) pertimbangan ekologi. Upaya pelestarian memerlukan suatu kebijakan dan tindakan yang berani. Apakah pemerintah daerah mempunyai keberanian politik dan sosial untuk menerapkan undang-undang yang ada dan atau mengambil tindakan yang tegas untuk menghentikan penghancuran sumber daya terbarukan yang sedang terjadi, seperti terhadap air, tanah, vegetasi dan hewan liar? Hal ini berkaitan dengan kesadaran ekologi dalam perencanaan semua program pembangunan. Seperti contoh simbiosis antara acacia tortilis dan gazelle sebagai suatu hubungan ekologi. Biji Acacia berkecambah sesudah buahnya melewati saluran pencernaan gazelle. Hilangnya Acacia dan gazelle dari daerah yang luas secara bermakna mendahului penggurunan.

Pembangunan ekonomi yang mengandalkan kekayaan sumber daya alam mempunyai kecenderungan memanfaatkan sumber daya alam secara berlebihan, tidak efisien dan efektif. Sebagaimana terlihat dari lahan kritis yang ada di Kalsel saat ini. Di samping itu, masyarakat miskin semakin meningkat, karena ketidakmampuan dalam mengelola sumber daya alam tersebut untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar