Mahasiswa pecinta alam menyandang predikat yang diberikan awam sebagai orang atau mahasiswa yang cinta akan alam, namun pada kenyataannya orientasi akan kepencintaalaman menimbulkan polemik.Apakah hanya pada sisi kepetualangan atau kepedulian terhadap alam.
Herman O Lantang (69) saat ditemui HIMPALAUNAS.COM pada Selasa (3/8) menyatakan orientasi mapala seharusnya adalah untuk menyelamatkan sebuah daerah, mengenal masyarakat terdekat daerah hingga pelosok, serta suaka alam.
Ia menyatakan, kepencintaalaman bukan hanya ‘melihat’ ke Himalaya Nepal, bukan juga Seven Summit.
“Jadi lebih untuk menyelamkan jiwa patriotisme untuk mencintai tanah air, bukan orientasi setinggi setingi gunung
untuk didaki bukan sedalam lautan untuk diselami,” tuturnya.
Menurutnya, jadi bukan tingginya gunung tapi makin terpencil, makin terbelakang, makin sulit daerah-daerah di Indonesia disitulah letak untuk mencintai alam.
“Itulah tujuan mapala jaman dahulu yang beda dengan mapala sekarang,” jelas Herman di kediamannya di bilangan Lenteng Agung.
Saat ditanya mulai kapan dan siapa yang pertama kali menggunakan istilah pencinta alam, ia menerangkan bahwa istilah tersebut muncul dari ide SOE HOK GIE teman sejalur dan sepemahamannya. Ia kemudian mengkisahkan secara sekilas awal terbentuknya pecinta alam.
“Istilah pencinta alam, awalnya pengemar alam itu dibawah senat sejak tahun 1964,” terangnya.
Namun pada tahun 1968 istilah pengemar alam berubah menjandi Pencinta alam dan pada saat itu juga langsung dibawah naungan rektorat. Herman lantang salut dengan pola pikir Niko sapaan akrab buat Soe Hok Gie yang sudah punya pola pikir lebih maju bahwa pengemar alam tersebut harus berdiri sendiri dan bukan di bawah senat mahasiswa melainkan dibawah dekan FT-SI. Berkat usaha tersebut pengemar alam tersebut berubah nama menjadi pencinta alam di bawah rektorat langsung.
Pada kesempatan itu ia sempat berpesan agar mapalawan/mapalawati agar selalu ingat di manapun berada selalu ingat bumi tanah air kita yang tercinta.
“Jika engkau telah sampai hingga ke taraf ini, maka di pelosok manapun engkau berada, dibawah Matterhorn, di puncak el Capitan di sierra Nevada, di daerah Kasmir atau Nepal, di Hokkaido maupun sekitar gunung Fujijama yang suci ataupun puncak-puncak pegunungan di Selandia Baru, engkau senantiasa dan selalu akan mengarahkan wajahmu kedaerah khatulistiwa diantara benua Australia dan Asia, yaitu ibu pertiwi Indonesia karena dia adalah Mekkah dan Roma bagimu,” pesannya.
Ia juga menuturkan secara filosofis bahwa seseorang yang berdialog dengan alam, dengan bintang-bintang dilangit, dengan lembah-lembah dan pegunungan, dengan aliran sungai dan deburan ombak dipantai akan mendapat kesucian jiwa.
Masih menurut Herman, bahwa apabila kita senantiasa berdialog dengan alam, tanah air kita sendiri dengan sendirinya akan memupuk rasa cinta pada tanah air dan membangkitkan perasaan patriotisme dalam arti kata yang sebenarnya.
“Tetapi hendaklah engkau berdialog dengan alam dengan sungguh-sunguhnya dan sejujur-jujurnya bukan berdialog dalam mimbar pidato atau ruangan istana,” tambahnya.
Baginya, seseorang yang telah mendapatkan kesucian jiwa karena selalu berdialog dengan alam bebas dapat mencintai tanah airnya dengan hati yang suci bagaikan kesucian air telaga dipegunugan yang tinggi.
” Jika engkau menjadi orang yang demikian, engkau akan menghadapi hidup ini dengan tiada gentar dan engkau tidak akan mengucurkan air mata setetespun apabila engkau nanti terpaksa berpisah dari segala yang ada didunia ini,” lanjutnya.
Pada akhir diskusi, dia mengingatkan sekali lagi, bahwa kita dapat menjadi pencinta alam yang baik dan akan menjadi seorang manusia yang dapat mengatakan dengan jujur pada diri kita sendiri bahwa, soal mati bukan menjadi urusanmu, tetapi yang menjadi persoalan utama ialah apa yang dapat kita perbuat dengan hidup kita yang pendek dan singkat di dunia ini untuk kebaikan rakyat dan bangsamu.
Sumber : HIMPALAUNAS.COM
Herman O Lantang (69) saat ditemui HIMPALAUNAS.COM pada Selasa (3/8) menyatakan orientasi mapala seharusnya adalah untuk menyelamatkan sebuah daerah, mengenal masyarakat terdekat daerah hingga pelosok, serta suaka alam.
Ia menyatakan, kepencintaalaman bukan hanya ‘melihat’ ke Himalaya Nepal, bukan juga Seven Summit.
“Jadi lebih untuk menyelamkan jiwa patriotisme untuk mencintai tanah air, bukan orientasi setinggi setingi gunung
untuk didaki bukan sedalam lautan untuk diselami,” tuturnya.
Menurutnya, jadi bukan tingginya gunung tapi makin terpencil, makin terbelakang, makin sulit daerah-daerah di Indonesia disitulah letak untuk mencintai alam.
“Itulah tujuan mapala jaman dahulu yang beda dengan mapala sekarang,” jelas Herman di kediamannya di bilangan Lenteng Agung.
Saat ditanya mulai kapan dan siapa yang pertama kali menggunakan istilah pencinta alam, ia menerangkan bahwa istilah tersebut muncul dari ide SOE HOK GIE teman sejalur dan sepemahamannya. Ia kemudian mengkisahkan secara sekilas awal terbentuknya pecinta alam.
“Istilah pencinta alam, awalnya pengemar alam itu dibawah senat sejak tahun 1964,” terangnya.
Namun pada tahun 1968 istilah pengemar alam berubah menjandi Pencinta alam dan pada saat itu juga langsung dibawah naungan rektorat. Herman lantang salut dengan pola pikir Niko sapaan akrab buat Soe Hok Gie yang sudah punya pola pikir lebih maju bahwa pengemar alam tersebut harus berdiri sendiri dan bukan di bawah senat mahasiswa melainkan dibawah dekan FT-SI. Berkat usaha tersebut pengemar alam tersebut berubah nama menjadi pencinta alam di bawah rektorat langsung.
Pada kesempatan itu ia sempat berpesan agar mapalawan/mapalawati agar selalu ingat di manapun berada selalu ingat bumi tanah air kita yang tercinta.
“Jika engkau telah sampai hingga ke taraf ini, maka di pelosok manapun engkau berada, dibawah Matterhorn, di puncak el Capitan di sierra Nevada, di daerah Kasmir atau Nepal, di Hokkaido maupun sekitar gunung Fujijama yang suci ataupun puncak-puncak pegunungan di Selandia Baru, engkau senantiasa dan selalu akan mengarahkan wajahmu kedaerah khatulistiwa diantara benua Australia dan Asia, yaitu ibu pertiwi Indonesia karena dia adalah Mekkah dan Roma bagimu,” pesannya.
Ia juga menuturkan secara filosofis bahwa seseorang yang berdialog dengan alam, dengan bintang-bintang dilangit, dengan lembah-lembah dan pegunungan, dengan aliran sungai dan deburan ombak dipantai akan mendapat kesucian jiwa.
Masih menurut Herman, bahwa apabila kita senantiasa berdialog dengan alam, tanah air kita sendiri dengan sendirinya akan memupuk rasa cinta pada tanah air dan membangkitkan perasaan patriotisme dalam arti kata yang sebenarnya.
“Tetapi hendaklah engkau berdialog dengan alam dengan sungguh-sunguhnya dan sejujur-jujurnya bukan berdialog dalam mimbar pidato atau ruangan istana,” tambahnya.
Baginya, seseorang yang telah mendapatkan kesucian jiwa karena selalu berdialog dengan alam bebas dapat mencintai tanah airnya dengan hati yang suci bagaikan kesucian air telaga dipegunugan yang tinggi.
” Jika engkau menjadi orang yang demikian, engkau akan menghadapi hidup ini dengan tiada gentar dan engkau tidak akan mengucurkan air mata setetespun apabila engkau nanti terpaksa berpisah dari segala yang ada didunia ini,” lanjutnya.
Pada akhir diskusi, dia mengingatkan sekali lagi, bahwa kita dapat menjadi pencinta alam yang baik dan akan menjadi seorang manusia yang dapat mengatakan dengan jujur pada diri kita sendiri bahwa, soal mati bukan menjadi urusanmu, tetapi yang menjadi persoalan utama ialah apa yang dapat kita perbuat dengan hidup kita yang pendek dan singkat di dunia ini untuk kebaikan rakyat dan bangsamu.
Sumber : HIMPALAUNAS.COM
MataJala (Pecinta Alam) Universitas Ma'arif Nahdlatul Ulama (UMNU) Kebumen. JL Kusuma No. 75 Kebumen, Jawa Tengah.
BalasHapusWeb: http://matajala.itumnu.com
email: matajala@itumnu.com