Pecinta Alam Indonesia Abad 21

Seandainya pohon bisa memberontak dan bicara tentunya ia bakal menjerit ketika ditebang, seadainya satwa liar itu bisa bicara tentunya ia bakal menyelamatkan hidupnya, namun kita sebagai manusia punya mulut, hati, telinga, otak malah diam saja melihat, mendengar jeritan-jeritan alam yang rusak ditangan kerakusan spesies manusia seperti kita ini. Apakah kita bangga dengan kekuasaan kita sendiri sementara kita telah melakukan bunuh diri secara perlahan bersama-sama oleh perbuatan kita sendiri.

Sebelum kita membahas pecinta alam dan kegiatannya mari kita pahami betul apa epistemologi dari “Pencinta Alam”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata Cinta mempunyai empat makna, yakni, [1] ‘suka sekali’ ; ‘sayang benar’ ; [2] ‘kasih sekali’ ; terpikat’ ; terpikat ; [3] ‘ingin sekali’ ; berharap sekali ; ‘rindu’ ; dan [4] ‘susah hati ; risau’ (1993 -190). Yang artinya pencinta diberi makna ‘orang yang suka akan’ (h191). Selain itu kata alam yang diserap dari bahasa Arab, di Indonesia berkembang sehingga mempunyai tujuh makna. Ketujuh makna itu ialah [1] ‘segala ada yang dilangit dan dibumi’ ; [2] ‘lingkungan dan kehidupan’ ; [3] ‘segala sesuatu yang termasuk dalam satu lingkungan dan dianggap satu lingkungan dan dianggap sebagai satu keutuhan’ [4] ‘segala daya yang menyebabkan terjadinya dan seakan-akan mengatur segala sesuatu yang ada di dunia ini [5] ‘yang bukan buatan manusia’ ; [6] ‘dunia’ ; dan [7] ‘kerajaan ; daerah ; negeri ‘ (h.22). Kalau kedua kata tersebut digabung maka arti dari pencinta alam adalah ‘orang yang sangat suka akan alam’.

Namun tidak disaat ini, pencinta alam yang sebenarnya hanya pantas ditunjukan pada masyarakat asli hutan, organisasi non pemerintah yang peduli terhadap lingkungan dan alam, individu yang peduli dengan lingkungan hidup lewat kemampuan yang dia bisa, seperti menanam pohon, membuang sampah tidak sembarangan, tidak memelihara satwa liar yang dilindungi UU, tidak menebang pohon ditaman nasional dan disekitar hutan lainnya, naik sepeda, menulis tentang lingkungan, membuat film tentang hutan dan kelestariannya, dan masih banyak lagi bentuk kepedulian terhadap lingkungan.

Makna ‘orang yang suka akan alam’ berarti manusia yang peduli dengan alam dan menjaga kelestariannya. Dengan menjaga kelesatariannya berarti ia membela nasib hutan dan satwa liar yang sedang mengalami kepunahan bukan berpetualang menantang andrenallin naik gunung, memanjat tebing, atau membuka jalur untuk latihan atau dengan bangga bisa menaklukan alam.

Sejarah memang harus dipelajari tentang pendirian pencinta alam yang motori almarhum Soe Hok Gie, Herman Lantang dan kawan-kawan. Di era 60-an memang terjadi pergolakan masa transisi kemerdekaan. Invansi politik praktis diluar kampus Universitas Indonesia lewat organisasi dan kesatuan aksi mahasiswa dari berbagai atribut dan ideologinya berusaha memasuki Universitas. Namun, Almarhum Soe dan rekan-rekannya tidak peduli dan menjadi kelompok yang tidak memihak dengan kemelut politik saat itu. Mereka lari ke gunung dan pergi ke tempat-tempat sepi terpencil. Kalau penulis menyimpulkan contemplasi ala raja-raja Jawa seperti pendeta-pendeta hinduisme. Mereka paham waktu itu posisi benar-benar terjepit. Kebersamaan dan pengalaman itulah lahir istilah pencinta alam, yaitu Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) Prajnaparamita FSUI. Di Tahun 1971 nama Prajnaparamita dilepas diganti dengan Mapala UI. Alhasil bangsa yang euforia ini bermunculan organisasi pencinta alam baik dari kampus dan diluar kampus.

Kegiatan mereka hanya berlarian ke gunung, ke goa, ke tebing hanya untuk menikmati alam. Jaman abad ini sudah berubah namun masih ada saja organisasi pencinta alam baik dari kampus dan masyarakat yang bergiat untuk naik gunung, ke goa, arung jeram, ke tebing atau pendidikan seperti gaya militer, menggampar seenaknya calon peserta dengan alasan biar berdisiplin seperti militer. Padahal pendidikan ala militer dewasa ini dengan kekerasan sudah mulai dikurangi.

Pernah penulis mendengar cerita dari aktivis lingkungan dari negeri yang hutannya sudah hilang bahwa seandainya gunung itu dipenuhi sampah dan hutannya gundul, iklimnya panas, sungai dipenuhi limbah pabrik, tebing karst di bom dan batunya diambil untuk bahan lantai, meja, dan satwa liar yang eksotik punah seperti Harimau Jawa, Jalak Bali. Apakah organisasi pencinta alam baik itu dikampus maupun diluar kampus diam saja melihat itu semua.

Memang hutan Indonesia belum parah meski terlihat parah atau sungai-sungai masih belum tercemar hingga bisnis olah raga arus deras pun menjamur atau gunung masih ada tempat menarik meski jauh paling atas, goa-goa masih banyak yang bagus, tebing-tebing masih menjulang tinggi toh mereka hanya santai-santai saja atau tidak perduli sama sekali lebih mementingkan event-event kejuaraan atau pelatihan-pelatihan yang tidak ada hubungannya dengan makna dari pencinta alam. Sangat tragis benar.

Apa ada yang salah dari Almarhum Soe Hok Gie dan kawan-kawan lamanya hingga penerusnya hanya mementingkan kepuasaan sesaat atau kode etik pencinta alam Se-Indonesia yang syahkan bersama dalam gladian ke-4 yang setiap kegiatan wajib dibacakan setiap kegiatan seperti maksud dari pesannya Pencinta Alam Indonesia adalah sebagai dari masyarakat Indonesia sadar akan tanggung jawab kami kepada Tuhan, Bangsa dan Tanah Air. Dengan kesadarannya mereka (Pencinta Alam) menyatakan pada poin 2 yang isinya memelihara alam beserta isinya menjadi ucapan atau janji tanpa makna (Lip Service).

Namun hasilnya pun hutan tetap gundul, satwa liar makin lama makin punah, bencana lingkungan mulai bermunculan, bahkan pemanasan global yang dibicarakan setiap negara dan para aktifis lingkungan dari LSM dengan gencarnya mencari solusi. Sedangkan organisasi yang namanya Pencinta Alam belum menunjukan taringnya untuk peduli terhadap lingkungan. Bahkan hanya bisa dihitung oleh jari organisasi pencinta alam yang peduli terhadap lingkungan. Atau menurut saran respon dari pembaca tulisan Quo Vadis Pecinta Alam yang ditulis penulis mending diganti saja nama pencinta alam dengan nama jenis petualang. Biar tidak terjadi pembiasan makna dari kata Pencinta Alam.

Alhasil, makin sepinya minat pemuda sekarang untuk masuk organisasi pencinta alam. Tradisi lama masih dipakai tidak ada formulasi-formulasi baru untuk merefleksikan kegiatan-kegiatannya. Atau organisasi pencinta alam dewasa ini telah bangga dengan “establishment” (kemapanan). Kebiasaan-kebiasaan lama yang harus ditinggalkan malah terus diulang-ulang saja seperti pendidikan dengan kekerasan atau perbedaan yang antara senior dan yunior, pendendaman akibat dari pendidikan yang keras, menebang pohon untuk simulasi SAR, atau pembukaan jalur. Meski kecil namun tetap saja kita memberikan pendidikan yang tidak baik terhadap masyarakat sekitar gunung atau hutan.

Pernah penulis ditanya saat masuk organisasi mahasiswa pencinta alam waktu masih kuliah dulu oleh senior, apa tujuan anda masuk pencinta alam? Penulis menjawab ingin mengenal alam lebih dekat. Namun, ketika pendidikan tidak dikenalkan dengan alam malah disiksa di bentak meski tidak ada kekerasan fisik, membuka jalur hutan dengan parang seperti kesatria.

Ironisnya, bencana-bencana alam tidak separah di jaman itu. Namun saat ini kita mendengar dan merasakan dampak dari penyakit lingkungan seperti pemanasan global, banjir, longsor, tsunami, belum lagi penyakit-penyakit aneh lainnya. Apa kita sebagai pencinta alam terus merenung naik gunung?Apa kita sebagai pencinta alam masih saja manjat memenuhi kepuasaan jiwa? Apa kita sebagai pencinta alam terus menelusuri goa?Apa kita sebagai pencinta alam terus pergi keriam berarung jeram melintasi sungai?Apa kita sebagai pencinta alam bangga dengan ucapan sebagai penikmat alam? Waktunya kita bergabung dan belajar dari organisasi-organisasi non pemerintah, masyarakat dengan kearifan tradisional sekitar hutan yang peduli terhadap lingkungan untuk melakukan sinergi bersama mencari solusi tentang kerusakan alam. Ini tugas semua pencinta alam Indonesia di abad 21 ini. Waktunya meninggalkan dunia petualang. Take Action Now!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar