Norman Edwin sosok pecinta olahraga petualangan yang pernah ada di Indonesia, ia dikenal sebagai pribadi pemberani dan suka menolong oleh keluarga dan teman-temannya.
Norman tewas di usia 37 tahun bersama rekan satu timnya Didiek Samsu Wahyu Triachdi saat pendakian Puncak Aconcagua (6969m), pegunungan yang membentang sepanjang perbatasan Chile – Argentina.
Indonesia berduka, pada pertengahan April 1992 dua orang pendaki terbaik negeri ini tewas. Media nasional dan international meliput kejadian tewasnya dua pendaki tersebut.
Norman saat itu mendaki puncak Aconcagua 6959 m di Chile. Gunung yang disebut juga The Devil’s Mountain karena faktor cuacanya tak bisa diprediksikan, sering kali badai salju melanda pegunungan selama berhari - hari. Puncaknya dijadikan tujuan karena menjadi salah satu puncak tertinggi di dunia.
Berbekal pengetahuan dalam penelusuran gua, pendakian gunung, arung jeram serta sejumlah pengalaman petualangan di Papua, Kalimantan, Afrika, Kanada bahkan Himalaya, membentuk kecepatan dan kekuatan fisik pada diri pria ini.
Sebetulnya banyak yang meragukan kemampuan Norman, namun pengalamannya selama 15 tahun dalam berpetualang serta menghadapi berbagai bahaya, membuatnya yakin untuk mendaki Aconcagua.
Saat mendaki, badai salju menghantam dan akhirnya merenggut duet pendaki fenomenal Indonesia ini. Jenazah Didiek adalah yang pertama ditemukan pada tanggal 23 Maret atas laporan beberapa pendaki negara lain yang kebetulan melihat mereka berdua terakhir di ketinggian 6400 m, beberapa ratus meter lagi sebelum Puncak.
Dilaporkan pula saat itu, kondisi keduanya terlihat sangat kritis, beberapa jari Norman membeku dan Didiek menderita kebutaan akibat pancaran sinar matahari yang berlebihan memantul di hamparan salju dataran tinggi, kacamata salju yang dipakai Didiek rusak berat.
Jenazah Norman ditemukan beberapa hari kemudian dan langsung diterbangkan ke Jakarta pada tanggal 21 April 1992. Spekulasi merebak melalui media massa bahwa pendakian tersebut diakibatkan karena minimnya pelaralatan yang dibawa.
Bagi istri Norman, Karina serta Melati putrinya, sosok hangat dan eksentrik Norman akan tetap menjadi kenangan tak terlupakan. Semasa hidup, Melati selalu dibawa serta dalam kegiatan alam bebas yang digeluti ayahnya, termasuk perjalanan ke Irian Jaya(kini disebut Papua) saat ia masih kecil.
Norman menjadi seorang petualang sejati diantara pendaki-pendaki yang ada sekitar tahun 1970-1980, Didiek adalah teman dekatnya.
Bagi Melati, ayahnya sosok yang mempunyai semangat hidup tinggi. Ia teringat nasihat ayahnya, janganlah kita mencoba menaklukkan ganasnya alam, tapi belajarlah untuk menaklukkan ego serta mengetahui batasan diri kita sendiri, faktor ini adalah hal terpenting jika ingin menekuni olahraga beresiko tinggi.
Norman telah tiada, namun spiritnya meresap di hati para pecinta olahraga alam bebas Indonesia. Keberanian dan semangat pantang menyerahnya dapat dijadikan contoh bagi petualang-petualang muda.
Norman tewas di usia 37 tahun bersama rekan satu timnya Didiek Samsu Wahyu Triachdi saat pendakian Puncak Aconcagua (6969m), pegunungan yang membentang sepanjang perbatasan Chile – Argentina.
Indonesia berduka, pada pertengahan April 1992 dua orang pendaki terbaik negeri ini tewas. Media nasional dan international meliput kejadian tewasnya dua pendaki tersebut.
Norman saat itu mendaki puncak Aconcagua 6959 m di Chile. Gunung yang disebut juga The Devil’s Mountain karena faktor cuacanya tak bisa diprediksikan, sering kali badai salju melanda pegunungan selama berhari - hari. Puncaknya dijadikan tujuan karena menjadi salah satu puncak tertinggi di dunia.
Berbekal pengetahuan dalam penelusuran gua, pendakian gunung, arung jeram serta sejumlah pengalaman petualangan di Papua, Kalimantan, Afrika, Kanada bahkan Himalaya, membentuk kecepatan dan kekuatan fisik pada diri pria ini.
Sebetulnya banyak yang meragukan kemampuan Norman, namun pengalamannya selama 15 tahun dalam berpetualang serta menghadapi berbagai bahaya, membuatnya yakin untuk mendaki Aconcagua.
Saat mendaki, badai salju menghantam dan akhirnya merenggut duet pendaki fenomenal Indonesia ini. Jenazah Didiek adalah yang pertama ditemukan pada tanggal 23 Maret atas laporan beberapa pendaki negara lain yang kebetulan melihat mereka berdua terakhir di ketinggian 6400 m, beberapa ratus meter lagi sebelum Puncak.
Dilaporkan pula saat itu, kondisi keduanya terlihat sangat kritis, beberapa jari Norman membeku dan Didiek menderita kebutaan akibat pancaran sinar matahari yang berlebihan memantul di hamparan salju dataran tinggi, kacamata salju yang dipakai Didiek rusak berat.
Jenazah Norman ditemukan beberapa hari kemudian dan langsung diterbangkan ke Jakarta pada tanggal 21 April 1992. Spekulasi merebak melalui media massa bahwa pendakian tersebut diakibatkan karena minimnya pelaralatan yang dibawa.
Bagi istri Norman, Karina serta Melati putrinya, sosok hangat dan eksentrik Norman akan tetap menjadi kenangan tak terlupakan. Semasa hidup, Melati selalu dibawa serta dalam kegiatan alam bebas yang digeluti ayahnya, termasuk perjalanan ke Irian Jaya(kini disebut Papua) saat ia masih kecil.
Norman menjadi seorang petualang sejati diantara pendaki-pendaki yang ada sekitar tahun 1970-1980, Didiek adalah teman dekatnya.
Bagi Melati, ayahnya sosok yang mempunyai semangat hidup tinggi. Ia teringat nasihat ayahnya, janganlah kita mencoba menaklukkan ganasnya alam, tapi belajarlah untuk menaklukkan ego serta mengetahui batasan diri kita sendiri, faktor ini adalah hal terpenting jika ingin menekuni olahraga beresiko tinggi.
Norman telah tiada, namun spiritnya meresap di hati para pecinta olahraga alam bebas Indonesia. Keberanian dan semangat pantang menyerahnya dapat dijadikan contoh bagi petualang-petualang muda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar