”Earth is enough to satisfy every man’s need, but not every man’s greed.”
“Alam ini akan selalu mampu mencukupi kebutuhan makan bagi penghuninya, tetapi tidak mampu untuk mencukupi satu saja manusia yang rakus”
Mahatma Gandhi
“Alam ini akan selalu mampu mencukupi kebutuhan makan bagi penghuninya, tetapi tidak mampu untuk mencukupi satu saja manusia yang rakus”
Mahatma Gandhi
Pengantar
Setiap tanggal 22 April 2008 kita memperingati hari Bumi, planet yang telah berusia kurang lebih 5.500.000.000 tahun. Hari Bumi ini di Indonesia sebenarnya tidak lazim diperingati sebelum tahun 1972, apalagi saat itu kekayaan alam kita masih sangat banyak dan kondisi lingkungan hidup kita masih jauh lebih baik, sehingga rasanya pada saat itu orang Indonesia masih “belum perlu” merasa khawatir untuk menyelamatkan bumi dan lingkungannya.
Gagasan hari bumi sendiri muncul dari seorang senator dari Amerika Serikat Gaylorfd Nelson yang menyaksikan betapa menurunnya kualitas lingkungan di bumi yang hanya satu-satunya tempat hidup manusia. Kerusakan yang juga disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri sudah kian menjadi-jadi, sehingga setelah menyampaikan pidatonya di Seattle pada tahun 1969, Gaylorfd bersama dengan teman-teman LSM, 1500 perguruan tinggi, dan 10.000 sekolah, turun ke jalan untuk mengadakan aksi penyelamatan bumi dari kerusakan.
Segera setelah aksi tersebut berturut-turut terjadi pergerakan dalam upaya penyelamatan bumi mulai dari Konferensi Tingkat Tinggi Lingkungan Hidup pada tahun 1972 di Stockholm, konferensi tingkat dunia yang membicarakan lingkungan dunia global di Rio de Janeiro pada tahun 1992 yang menyepakati Forestry Principle yang menekankan pentingnya hutan bagi masa depan umat manusia.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah kita memiliki persetujuan yang mengikat secara hukum berkaitan dengan perlindungan lingkungan hidup untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yaitu melalui Protocol Kyoto. Tetapi agar kesepakatan tersebut dapat dilaksanakan secara operasional, maka harus diratifikasi oleh 55 negara. Ratifikasi tersebut juga harus mencakup negara penghasil 55% emisi gas rumah kaca dunia, yang berarti bahwa negara-negara industri besar harus meratifikasinya. Pada saat itu hanya sedikit negara industri besar yang meratifikasinya, hingga terselenggaranya konferensi Global Warming baru-baru yang diadakan di Bali yang menghasilkan Bali Roadmap, hanya tinggal Amerika Serikat yang masih belum meratifikasinya.
Indonesia sebagai “Zamrud Katulistiwa”
Indonesia yang dikenal sebagai zamrud khatulistiwa adalah sebuah negara kepulauan yang terbentang antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Lebih dari 17.000 pulau telah tercatat, 6.000 di antaranya merupakan pulau berpenghuni. Indonesia juga diberkahi dengan lintasan khatulistiwanya di area Asia Tenggara. Luas total daratan mencapai 1.811.570 km2 dan 63 persen (1.134.330 km2) masih berupa hutan. Sementara itu luas total wilayah air adalah 317 juta hektare termasuk zona ekonomi eksklusif (ZEE) 473 ribu hektare. Penduduknya terdiri dari 600 kelompok etnik, diperkirakan jumlahnya telah mencapai 210 juta jiwa pada 2002, dengan hampir 80 persen tinggal di Pulau Jawa (Data BPS dan KLH). Kekayaan alamnya yang memiliki 25.000 hingga 30.000 spesies tumbuh-tumbuhan atau sekitar 10% dari jumlah total spesies tumbuhan yang ada di dunia, walaupun luas Indonesia hanya 1,3% dari permukaan bumi, saat ini lebih dari 590 spesies tumbuhan di Indonesia dalam resiko akan terancam punah atau telah punah.
Indonesia setidaknya mempunyai 47 ekosistem unik. Walaupun luasnya hanya 1,3 persen dari permukaan dunia, namun 17 persen dari spesies di dunia hidup di Indonesia, melebihi segala bentuk kehidupan dari seluruh Benua Afrika. Dalam hitungan persen, Indonesia setidaknya memiliki 11 persen dari spesies tanaman bunga dunia, 12 persen spesies mamalia dunia, 16 persen dari seluruh spesies amfibi dan reptil, 17 persen dari spesies buning dunia, dan 37 persen dari spesies ikan di dunia. Dalam hal jumlah, Indonesia mempunyai 515 spesies mamalia, peringkat pertama di dunia, dan 36 persen endemik. 122 spesies kupu-kupu, angka tertinggi di dunia, 44 persen endemik. Lebih dari 600 spesies reptil (peringkat ketiga di dunia), 153 spesies burung (28 persen endemik) dan lebih dari 270 spesies amfibi, merupakan peringkat lima besar dunia, serta 28.000 tanaman bunga, menduduki peringkat ketujuh dunia.
Dalam hal kelautan Indonesia menempati pusat Indo-pacific biogeographic kelautan dan posisinya yang strategis antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik sehingga tidak mengherankan jika sangat kaya akan variasi kelautan dan pesisirnya. Misalnya, hutan mangrove terbesar di Asia, padang lamun, dan hamparan terumbu karang. Indonesia mempunyai hutan mangrove seluas 3,8 juta hektare yana menempatkan Indonesia sebagai pemilik hutan mangrove terbesar di dunia. Disusul oleh Nigeria 3,24 juta hektare dan Australia 1,6 juta hektare. Hampir 2/3 dari perbatasan laut Indonesia ditutupi oleh terumbu karang yang diperkirakan mencapai 7.500 km2. Banyak kehidupan yang bergantung pada keberlangsungan eksistensi terumbu karang, seperti pemijahan ikan dan lebih dari 200 jenis ikan hias (Kementerian Negara Lingkungan Hidup dan Konphalindo, Atlas of Biodiversity in Indonesia. Jakarta. 1995)
Hal ini hanya untuk menunjukkan betapa Indonesia itu kaya akan potensi yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk rakyat Indonesia dengan konsep lestari dan berkeadilan. Kerusakan ekosistem dan lingkungan di Indonesia akan mempengaruhi dunia, karena potensi hal tersebut di atas. Akan tetapi Indonesia menerapkan kebijakan yang salah kaprah, dengan dukungan negara-negara industri besar dunia terjadi perusakan besar-besaran, sehingga berdampak pada diri sendiri dan dunia. Anehnya setelah rusak, kita yang dipersalahkan dan diminta harus menanggung beban tersebut.
Kerusakan Hutan Indonesia Awal Malapetaka
Kerusakan hutan merupakan awal dari siklus penurunan kualitas lingkungan hidup, karena hutan merupakan bagian terpenting dalam siklus ekologi. Kerusakan hutan di Indonesia sudah dalam tingkat yang membahayakan. Pemerintah daerah dengan adanya otonomi daerah berlomba-lomba mengeruk sumber daya hutannya untuk mencukupi kebutuhan dana pembangunan daerahnya, yang sering menguntungkan perseorangan atau kelompok elit daerah. Bahkan kadangkala tidak adanya rencana yang sesuai dengan kaidah-kaidah lingkungan hidup, kalaupun ada sering dilanggar, daerah-daerah yang “haram” untuk disentuh, seperti Taman Nasional, Hutan Lindung, dan sejenisnya, terpaksa harus dibabat atas nama kebutuhan “rakyat”. Jika perijinan sulit, maka jurus-jurus lama dikeluarkan melalui upaya tidak terpuji yang justru melibatkan aparat yang seharusnya bertugas menjaganya. Dengan prinsip “semakin banyak pihak yang terlibat, maka akan semakin aman dan lancar upaya ilegal loging dan pencurian kayu hutan”.
Akibatnya tercapailah prestasi terbesar pemerintah yaitu diraihnya predikat untuk Indonesia sebagai negara dengan laju kerusakan hutan (deforestasi) yang tercepat di dunia (Guinness Book of World Records – April 2007). Indonesia dinilai bertanggung jawab atas menciutnya kapasitas paru-paru dunia dan juga dituduh sebagai negara yang membiarkan berlangsungnya illegal loging dan pembakaran hutan untuk lahan perkebunan. Indonesia bersama Papua Nugini dan Brasil mengalami kerusakan hutan terparah sepanjang kurun 2000-2005. Menurut Badan Pangan Dunia (FAO), Indonesia menghancurkan kira-kira 51 kilometer persegi hutan setiap harinya, yang nilainya setara dengan hancurnya 300 lapangan bola setiap jam. Hal ini disebabkan oleh karena hutan alam Indonesia secara legal dieksploitasi di bawah kebijakan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Kedua kebijakan ini membuka peluang eksploitasi hutan yang menguntungkan para taipan pemegang konsesi. Sistem HPH dan HTI sangat bertanggung jawab atas percepatan laju deforestasi di Indonesia.
Departemen Kehutanan mengeluarkan angka deforestasi Indonesia sepanjang tahun 1997-2000 sebesar 2.84 juta hektar per tahun, sedangkan sepanjang tahun 2000-2005 mencapai 1.8 juta hektar per tahun. Menurut Green Peace luas hutan Indonesia pada tahun 1950 berjumlah 162 juta hektar (84%), kemudian menjadi 119 juta hektar (64%) pada tahun 1985, dan terus menurun pada tahun 1997 menjadi 98 juta hektar (50%), hingga kini (2005) tersisa 85 juta hektar (43%). Menurut GreenPeace, dalam separuh abad terakhir Indonesia telah kehilangan separuh dari hutannya, sehingga yang tersisa adalah 55 juta hektar, tetapi Departemen Kehutanan mencatat luas hutan Indonesia 133.57 juta hektar. Dari luas hutan tersebut jumlah hutan Papua yang masih tersisa seluas 40.546.360 hektar. Hutan gambut di Indonesia yang mencapai 22,5 juta hektar dan di Riau menyimpan hampir separuhnya, sebentar lagi sudah tinggal kenangan. Padahal dengan dilakukannya konversi hutan gambut tersebut berakibat dilepaskannya 1.100 juta ton Co2 (Karbondioksida) per tahun ke atmosfir Indonesia, yang menjadi biang keladi “Green House Effect” (Cifor, 2007).
Belum lagi di sektor kelautan, sektor dalam bidang kelautan yang paling parah mengalami kerusakan adalah hutan mangrove dan terumbu karang, akibat dari sistem pertanian dan pertambakan yang tidak terencana dan terkontrol. Diperkirakan hanya tinggal 60 persen hutan mangrove kita masih dalam kondisi baik, namun pada saat yang sama lebih dan 840.000 hektare hutan mangrove akan diubah menjadi lahan pertambakan. Terumbu karang yang merupakan habitat kehidupan laut juga mengalami ancaman hebat. Terutama dari praktik penangkapan ikan yang destruktif, yaitu dengan pemboman ataupun pemakaian racun. Sektor pariwisata juga mengancam kehidupan terumbu karang dengan pemakaian terumbu karang sebagai pondasi dari cottage yang dibangun untuk kepentingan industri pariwisata.
Jadi berdasarkan Laporan Status Lingkungan Hidup tahun 2006 dapat diambil kesimpulan bahwa kerusakan alam kita sudah sangat parah, mulai dari air, udara, dan lahan atau hutan. Ketersediaan air bersih cenderung menurun sebesar 15-35 % per kapita per tahun, karena kerusakan lingkungan di daerah tangkapan air, sehingga saat hujan tidak banyak air yang meresap ke dalam tanah, dan sebagian lagi mengalir menjadi aliran permukaan yang mengakibatkan banjir, sebaliknya di musim kemarau, ancaman kekeringan semakin besar karena kurangnya ketersediaan air. Terjadinya penurunan kualitas air karena masuknya bahan pencemar air dari limbah industri, air limbah domestik maupun sampah. Terjadi pula penurunan kualitas udara yang sangat seius, khususnya di kota-kota besar akibat emisi yang masuk ke udara ambient melebihi daya dukung lingkungan. Kondisi sumberdaya lahan dan hutan kita ditandai dengan kerusakan lahan dan hutan mencapai 59.2 juta ha dengan laju deforestasi mencapai 1.19 juta ha per tahun.
Dampak Investasi Asing Pada Kerusakan Lingkungan
Investasi asing turut juga menyumbangkan kerusakan bumi Indonesia. Selain merugikan karena hasil bumi kita dikeruk hanya untuk kepentingan bangsa asing dan sedikit dari elite kekuasaan, juga akibat jangka panjang untuk generasi selanjutnya adalah kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan ini secara luas dan masif sudah terjadi sejak tiga dekade terakhir. Ditandai dengan kelahiran tiga paket UU yang membuka peluang eksploitasi sumber daya alam Indonesia secara masif, yaitu UU Kehutanan 1967, UU Pertambangan 1967, dan UU Penanaman Modal Dalam dan Luar Negeri 1967. Akibatnya terjadi dampak yang mengerikan yaitu banyak investor asing yang masuk ke Indonesia yang mengeksploitasi sumberdaya alam Indonesia tanpa aturan perlindungan lingkungan dan kesadaran lingkungan yang belum berkembang seperti sekarang, sehingga mereka beroperasi tanpa dibebani kewajiban sosial dan lingkungan. Bahkan, oposisi dari masyarakat baru muncul pada tahun 1980-an berupa protes masyarakat atas rusaknya lingkungan mereka akibat aktivitas pertambangan. Sebut saja Suku Amungme dan Komoro di Papua Barat yang bersengketa dengan Freeport mengenai lahan mereka; perusahan minyak Mobil Oil di Aceh, dan tambang Newmont di Sulawesi Utara.
Pada era pemerintahan Bung Karno, dengan tegas beliau menolak meminta pinjaman untuk pembangunan atau membuka lebar-lebar pintu investasi asing. Padahal ketika itu tahun 1945, dimana Indonesia baru saja memproklamirkan kemerdekaannya. Bung Karno pada saat itu bahkan ingin agar Indonesia dibangun sendiri oleh pemuda-pemudi terampil yang telah berhasil menempa ilmu baik di dalam dan di luar negeri. Tetapi bukan berarti bahwa Bung Karno anti modal asing. Hal ini tercermin ketika Megawati Soekarnoputri yang saat itu berusia 16 tahun bertanya padanya perihal mengapa Bung Karno tidak segera bertindak untuk mengelola sumber daya alam Indonesia, padahal saat itu istana selalu ramai dikunjungi investor asing yang minta kepada Bung Karno supaya dibolehkan mengeksplorasi dan mengeksploitasi minyak dan sumber daya mineral lainnya. Bung Karno selalu menolak kecuali untuk hal-hal yang sangat urgent dan minimal sekali dalam pemenuhan kebutuhan yang mendesak. Bung Karno menjelaskan kepada Megawati : “Nanti Dis (nama panggilan Mega), kita tunggu sampai kita mempunyai insinyur-insinyur sendiri !”.
Bung Karno ingin menggarap sumber daya mineral yang ada di bumi Indonesia oleh insinyur-insinyur Indonesia sendiri yang sedang disiapkannya. Bung Karno lebih mencintai bangsanya tanpa merugikan orang lain dan memimpikan bangkitnya perusahaan-perusahaan minyak Indonesia seperti Shell, Exxon Mobil, Chevron, Total dan sebagainya. Dalam era Presiden Soekarno utang luar negeri kita hanya sebesar US$ 2 miliar. Sumber daya alam kita praktis utuh. Tetapi memang kondisi ekonomi kita hancur pada saat itu, bahkan inflasi mencapai 600%. Terlantarnya ekonomi dan tidak adanya perhatian terhadap pembangunan ekonomi bukan berarti Bung Karno tidak mengerti ekonomi. Bung Karno tidak mengundang modal asing secara besar-besaran, dan tidak mempersilakan akhli-akhli asing mengendalikan Indonesia, karena Bung Karno mengerti betul konsekuensi jika politik kita tidak berdaulat dan ekonomi kita tidak mandiri. Bung Karno terfokus untuk menggembleng bangsa Indonesia menjadi satu nation yang diikat dengan Tunggal Eka dalam Kebhinekaannya membutuhkan waktu dan prioritas tinggi, sehingga pembangunan ekonominya tidak terlampau tertangani. Selain itu dalam periode tersebut terjadi banyak gangguan seperti pemberontakan DI/TII, RMS, PRRI/Permesta, dan rongrongan dari kekuatan-kekuatan geopolitik.
Setelah Soekarno tumbang oleh kekuatan asing (Amerika), penggantinya Soeharto dengan triumviratnya yaitu Adam Malik dan Hamengkubowono IX, di Genewa bersepakat dengan para kapitalis besar Amerika membagi kekayaan alam Indonesia kepada penguasa modal besar Amerika Serikat tersebut. Papua, Sulawesi, Jawa, dan Sumatera dibagi habis. Sehingga ketika Soeharto berkuasa, segera dibukalah selebar lebarnya pintu investasi asing melalui UU No.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Dalam dan Luar Negeri, yang hingga saat ini tidak ada upaya untuk mengambil alih kembali perusahaan tersebut, walaupun insinyur, PhD, dan Professor kita sudah menumpuk. Freeport masih bercokol di Papua, Newmont di Sulawesi, dan Exxon/Caltex di Jawa dan Sumatera. Apakah tenaga ahli kita tidak mampu? Bohong besar…
Kekuatan KKN birokrat dan pengusaha asinglah yang mengatur semuanya agar kepentingan penanaman modal negaranya di Indonesia tetap dipertahankan. Biarlah kekayaan alamnya dikeruk mereka dan rakyat Indonesia yang menanggung kerusakan alamnya. Puluhan universitas ternama telah bertahun-tahun mencetak sangat banyak insinyur pertambangan, dan di antaranya banyak yang bergelar Ph.D dan Profesor. Namun 92% dari minyak kita tetap dieksploitasi oleh perusahaan-perusahaan asing hingga saat ini. Pertamina hanya mengeksploitasi 8% saja. Formula kontrak bagi hasil mengatakan 85% untuk Indonesia dan 15% untuk perusahaan minyak asing. Namun kenyataan sampai sekarang, 40% dinikmati oleh perusahaan-perusahaan asing dan 60% oleh bangsa Indonesia. Asing tidak memperoleh 15% sesuai dengan kontrak, karena di dalam kontrak itu ada ketentuan bahwa biaya eksplorasi harus dibayar terlebih dahulu sampai habis (tetapi hingga kini tidak habis habis). Yang tersisa untuk kita adalah kerusakan hutan dan lingkungan.
(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar