Soe Hok Gie: Si Pena Yang Lebih Tajam dari Pedang


Siapa yang tidak kenal dengan tokoh yang satu ini? Ia terkenal lewat jargon “lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan”. Soe Hok Gie, tokoh pencinta alam legendaris ini dilahirkan di Jakarta, pada 17 Desember 1942. Seorang anak keempat dari lima bersaudara, dari keluarga Soe Lie Piet. Hok Gie juga adik kandung Soe Hok Djin (kini Arief Budiman), seorang budayawan.
Ketika remaja, Hok Gie tinggal di rumah sederhana keluarganya, di bilangan Kebon Jeruk. Dalam pengantar Catatan Seorang Demonstran(2005), Arief Budiman mendeskripsikan bagaimana Hok Gie ulet belajar dan menulis dengan keadaan yang penuh dengan kesederhanaan. Ia mengatakan, “Di rumah di Jalan Kebon jeruk, di kamar belakang, ada sebuah meja panjang. Penerangan listrik suram, karena voltase yang selalu turun kalau malam hari. Di sana juga banyak nyamuk. Ketika orang-orang lain sudah tidur, seringkali masih terdengar suara mesin tik dari kamar belakang Soe Hok Gie, di kamar yang suram dan banyak nyamuk itu, sendirian, sedang mengetik membuat karangannya”.

Darah tulis-menulis tampaknya sudah menurun dari bapaknya, Soe Lie Piet, yang juga seorang penulis. Hal ini ditunjukkannya sejak dia duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama Strada (SMP Strada) dengan mengumpulkan tulisan-tulisan Pramoedya Ananta Toer yang termasuk langka di saat itu. Di SMP Strada, Hok Gie sempat pindah sekolah ke sekolah Kristen Protestan dengan sebab merasakan ketidakadilan.

Di Sekolah Menengah Atas Kanisius ia mulai merasakan “kegelisahan” terhadap situasi sosial, terutama pandangannya mengenai Presiden RI Pertama, Ir. Soekarno. Dalam catatan hariannya, yang kemudian diterbitkan dengan nama Catatan Seorang Demonstran(2005-catatan harian ini mengalami beberapa kali cetak ulang), Hok Gie mengutarakan komentarnya mengenai Soekarno secara pribadi dan secara pemimpin.

Misalnya, ketika mobil Soekarno tengah melintasi jalan raya yang dikawal oleh sejumlah iringan petugas polisi. Di saat itu pula ada seorang (yang bukan pengemis) memungut mangga di tempat sampah. Melihat itu, Hok Gie memberikan sejumlah uang pada orang itu. Hok Gie menganggap itu sebagai hal ironis dalam situasi kenegaraan: yang penguasa mewah, sedangkan rakyat susah. Di situlah tulisan Hok Gie mulai menajam dan tidak ragu untuk berani mengritik pemerintahan Orde Lama.

Selepas menyelesaikan jenjang SMA dengan hasil nilai yang baik, Hok Gie meneruskan jenjang studinya pada fakultas sastra, Universitas Indonesia (UI), di jurusan Sejarah. Di kampus inilah ia banyak bertemu dengan tokoh-tokoh nasional kaliber seperti Ong Hok Ham, dan Herman Lantang yang banyak memberikan pengaruh besar terhadapnya.

Aktivitas kampus bagaikan sebuah oase baginya, karena “hobinya” dalam tulis menulis mulai tersalurkan pada media massa. Tercatat lebih dari 35 tulisannya tersebar di media-media massa cetak ibukota, seperti Kompas, Sinar Harapan, dan harian Indonesia Raya. Tak ayal, Hok Gie juga beberapa kali mengungkapkan kritikannya di radio.

Tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27, Hok Gie meninggal dunia di puncak gunung Semeru, pada Desember 1969. Di usianya yang sangat muda, ia telah menulis banyak. Seperti yang ia katakan pada catatan hariannya, “seorang intelegensia harus berbuat banyak bagi bangsa dan negaranya, itulah tugas kaum intelegensia”. Namun, sempatkah Hok Gie berpikir bahwa kelak catatan hariannya akan dibaca oleh banyak orang? Dan sudikah ia seandainya tahu catatan hariannya dibaca oleh orang lain?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar